Minggu, 26 April 2015

Oleh-oleh Avenger: Antara Ata dengan Huyuk

Well, saya sukses kembali ke studio bioskop. Setelah terakhir melihat aksi Roberrt Doney Jr menghancukan baju-baju besinya di Iron Man 3 yang penuh kejutan dengan menipu semua pencinta film dalam masa penantian yang mengira "Mandarin" bakal jadi musuh yang menyeramkan namun ternyata antiklimaks, saya baru kemarinan kembali kebioskop.

Ceritanya waktu itu istri sedang ulang tahun dan dalam keadaan hamil tua. Dua minggu kemudian putri kami Renata (Ata) lahir. Berhubung saya pria romantis yang pantang bersenang-senang kalau anak-istri tak diajak (ciyee), jadilah dua tahun ini tak nonton dulu ke Bioskop karena Ata masih kecil dan istri saya tak mau membawa putri kami itu menonton karena khawatir dia takut, bosan, atau rewel.

Kemarinan momennya kembali. Ada film bagus, Ata sepertinya sudah bisa diajak kencan bermateri "nonton". Avenger: Age of Ultron pun jadi film pertama kami bertiga.

Secara kebetulan, film ini punya kenangan romantis pula di sekuel perdananya. Kala 2012 lalu Stark, Thor, Banner, Rogers, Barton, dan Romanoff pertama kali dipersatukan Night Fury, saya dan istri dalam masa berkabung selepas kehilangan putri kami Josephine.

Jadi, untuk film ini istrisaya sudah paham karakter yang ditonton. Istri saya memang tak segila saya mengorek karakter yang dapat ditonton. Dia tak berhasil saya jejali dua film Hulk tapi sebagai orang yang kecil di tahun 1990-an tentu kenal dengan makhluk hijau ini. Thor 2 dan Winter Soldier juga dia malas menonton kala saya ajak melihat DVD-nya. Tapi Avengers pasti ada bekal buatnya lewat film perdananya dan tiga sekuel Iron Man yang kami tonton di masa pacaran dulu. Jadilah nonton kali ini bakal klik dan tak jadi konsumsi sendiri.

Untuk Ata sendiri memang sudah beberapa kali kami ajak nonton di laptop atau DVD dengan kegelapan dalam kamar. Selama dia menikmati yang muncul di layar, sepertinya dia tak masalah menonton dalam kegelapan. Walau memang, film kesukannya bukan action movie. Film kesukaannya sejauh ini adalah "Paddington".

Masuk di film saya sempat khawatir karena opening dengan ketenangan saya yakini akan membuat Ata kami bosan. Tapi ternyata tidak. Dibuka dengan adegan pertempuran, putri kami pun terpana dengan sosok raksasa hijau yang kami kenalkan dengan: Itu namanya Hulk,de!"
Maka berjalanlah film ini perlahan dengan ketenangan. Kekhawatiran cerita seorang rekan yang gagal menonton "Transformers" karena anaknya menangis minta pulang di bioskop waktu lampu mulai dipadamkan pun tak terjadi.

Namun sepuluh menit bersang Ata mulai rewel dengan bertanya, "Ci Huwuknya mana, Yah?"

Pertama bisa kami redam dengan bilang tunggu sebentar lagi. Namun cerita yang mulai tenang menghilangkan adegan Hulk mengamuk. Ata mulai rewel menanyakan keberadaan si Hulk.

Suasana bioskop mulai gaduh.Kali ini bukan karena Ata. Nampaknya ada rombongan cewek salah kursi yang pada cekikikan di bawah sana kala diklarifikasi petugas dan penonton yang seharusnya duduk dib sana. Penonton lain yang mulai geram lantas berteriak: "WOYDIEM, WOY!"

Seketika penonton terdiam karena memahami ketidaknyamanan yang terjadi. Film pun ikutan tenang sembari menceritakan obrolan Stark dan Banner tentang Jarvis dan Ultron. Tiba-tiba Ata meronta dalam ketenangan: "UYUKNYA MANAA (maksudnya Hulk)!!!!

Saya pun bersikap cool dan mengambil Ata dari mamanya dan memangkunya. Saya yang duduk di sisi pinggir dekat lorong kemudian mendudukkan Ata di pegangan kursi dan memberinya permen untuk menenangkannya.

Tiba-tiba gadis cantik itu bertanya dalam sepi, "Itu apa, Yah??" Saya yang membagi dua perhatian dengan yang nampak di layar mencoba menjelaskan tentang film namun Ata malah tambah gusar. Rupanya perhatiannya tersita pada lampu yang menyala di tangga di sepanjang lorong. Ata pun mulai berteriak dan mulai berusaha meraih lampu-lampu itu.

Seru sekali rupanya Ata kami ini menikmati hari bersama ayah-bundanya ini.

Istri mengambil kembali Ata dan memberinya susu. Film kembali berjalan. Sesaat kudengar Ata dipersilakan mamanya untuk menghisap jempolnya kalau memang sudah mengantuk. Ata mulai tenang sampai cerita pada titik para Avenger dihipnotis Scarlet Witch. Tiba-tiba muncul Hulk yang kembali mengamuk dan harus diredam Iron Man dengan senjata canggihnya. Ata kembali bersemangat,  "Itu Huyuknya tenapa (suara cadelnya makin cadel dengan jempol berada di dalam mulutnya)?" Saya dan istri menjelaskan dengan benar kenapa Hulk marah dan karena kami sama-sama guru tak ada upaya membohonginya agar diam. Diberitahu Hulk dihipnotis rupanya Ata tambah gusar. "Kenapa jipengayuhin Uyuknya??"

Well, Ata memang kritis banget dah.

Kali ini Ata menonton dengan tenang seiring berlalunya Hulk dan hadirnya ciki Ring dan The Botol kotak di tangan.

Kisah berkembang dengan upaya penyelamatan kapsul bakal tubuh baru Ultron oleh para Avenger plus duo Qwicksilver-Scarlet Witch yang sudah insaf.

Ata kami yang keren risih dengan tangannya yang dirasa kotor dan minta dicuci. Mamanya mengambil tisu basah dan mengusap tangannya. Tapi anak kami memang ajaib. Entah dari mana otaknya memetakan lokasi toilet, dia bisa menunjuk arah pintu masuk dan berteriak, "Cucinya di conoh ajah!!"
Maka tinggallah saya sendiri di dalam studio karena istri saya langsung ambil tindakan membawa Ata ke toilet. Untuk 10 menit saya menonton tanpa interupsi. Rupanya Ultron telah memulai pertempurannya dengan Avengers.

Sekembalinya Ata dengan mamanya plus popcorn dan teh es, semua adegan berjalan seru dan ternikmati maksimal. Ata menonton dengan tenang dan tentu saja menanti kehadiran Hulk.

Selepas romantisme Romanoff dan Banner yang menjanjikan amukan Hulk, saya menjanjikan Ata akan aksi Hulk yang tak lama lagi muncul.

Tapi salah. Yang muncul kemudian aksi pertempuran Vision plus Thor yang menghadapi Ultron. Captain America dan Iron Man  sibuk meredam kloningan Ultron yang tak ada habisnya. Black Widdow dan Hawkeye sibuk mengevakuasi warga. Dan Hulk tak kunjung muncul.

Saat akhirnya muncul makluk hijau itu saya pun mencolek Ata yang tak bersambut karena si cantik itu sudah tertidur rupanya.

Film ini mungkin tak saya nikmati sebaik Avengers pertama karena kehadiran Ata yang kerap menginterupsi. Tapi film ini sungguh jadi kesan pertama yang paling seru membawa Ata menemui pengalaman baru. Mungkin bukan salah filmnya atau salah memilih film. Semua semata serunya menikmati waktu bersama orang terdekat kita.

Tiba-tiba rasanya seperti masih anak muda yang sedang pacaran sambil menikmati waktu dengan bebas, tapi jelas lebih seru karena ada Ata di sisi.

Well Hulk, sepertinya Ata kami naksir, senaksir dia sama Masha dan Barney!! Itulah cerita saya tentang film kami yang "pertama" ini.

Notes Facebook 27 April 2015 at 13:03

Lucunya liga super di Insomnia

Dua pekan lalu saya sudah berujar tentang olahraga terjang bola di Insomnia. Dari hasil mengontak seorang kawan dengan alat komunikasi khusus yang saya ciptakan ada beberapa yang bisa saya kabarkan. Baca saja sini: http://olahraga.kompasiana.com/bola/2015/04/14/kisah-kisruh-bola-insomnia-712250.html.
Rupanya pak menpora telah membekukan PTI karena memang betul-betul dikelola orang sableng. Menpora menanyakan apa, eh dijawab dengan yang tak berhubungan. Di kasih SP malah PTI jalan terus. Akhirnya geraha, dibekukan deh.
Tapi PTI sok tak ngaruh. Dengan pongah mereka menjamin kompetisinya bakal tetap jalan tanpa persetujuan menpora sekalipun. Mereka lupa kalau mereka tinggal di Insomnia. Mereka cuma bilang akan tunduk apa kata PIPA. Masalahnya kalau ada kerusuhan yang urus PIPA atau polisi? Polisi kan!! Nah polisi itu bagian dari Insomnia atau PIPA? Lah polisi yang ngerti hukum tentu tak beri izin gelaran pertandingan.
PTI kira polisi masih sama seperti era presiden labil di era sebelum ganti kekuasaan dulu. Dikiranya mereka bisa seenaknya. Lah sekarang mah beda. Kaki tangan ketua PTI anyar terpilih yang nabok ketua Perseyaba asli langsung dibui dan tak dibiarkan jadi infektan masyarakat. Boro-boro kasih izin PTI meraja di masyarakat, sekadar pembiaran saja tak diberi kali ini.
PTI pun kalah dua kali. Setelah dibekukan, kini tak diizinkan main. Nah sekarang PTI coba menerapkan jurus ketiga: meracuni pikiran sehat insan persepakbolaan yang tersudut dengan larangan pertandingan.
PTI berlindung dengan dalih rusaknya pendapatan masyarakat kecil disekeliling stadion manakala kompetisi berhenti. Padahal masyarakat yang dimaksud hanya berjualan sekitar 17 kali sepanjang tahuin (sejumlah partai kandang di kota tersebut). Mereka mengajak para pedagang kecil memusuhi menpora, padahal pedagang kecil tersebut toh tetap berjualan kapan pun di manapun (ingat mereka makan 3 kali 365 hari dalam setahun yang artinya tak hanya tergantung 17 hari jualan di stadion).
PTI juga meracuni klub dengan pikiran kompetisi tak jalan jadi klub tak akan punya uang. Padahal menpora punya planing tetap menggulirkan liga, tapi tak di bawah PTI saja. Ajaibnya para klub ini bersatu mendukung PTI. Padahal kala kompetisi bergulir sebagian besar dari klub itu akan dizalimi lewat permainan wasit kiriman PTI yang kerap mengubah hasil akhir lewat “penalti” seperti laga Amera versus Perjasi yang berakhir 4-4 di pembuka liga musim ini. Kelak kalau hasil baik mereka dirampok sebagaimana biasa barulah klub ini sadar kalau mereka dimanfaatkan.
Klub juga diajak menyuarakan kerugian atas gagalnya pertandingan mereka yang tak dapat izin kepolisian. Tim kandang rugi persiapan penyelenggaraan; klub bertandang rugi di ongkos transportasi dan penginapan. Padahal yang bodoh mereka sendiri. Sudah jelas PTI dibekukan, izin polisi tak ada’ kenapa juga tetap ngotor bertanding dan datang.
Kalau masalahnya kompetisi. Wis tenang sebentar, menpora juga tak akan merugikan sejauh itu. Pasti kompetisi digelar juga, tapi penyelenggaranya bukan PTI, itu saja.
PTI juga meracuni fans dengan ultimatumnya bahwa kompetisi musim ini bakal ditiadakan kalau menpora dan polisi tak mengizinkan. Fans diharapkan takut tak punya hiburan dan mendemo menpora. Fans ini dibutakan dengan ajakan menggelar terjang bola murni, olahraga tanpa politisasi sementara PTI main belakang dengan politisasi.
Jikminia yang suporter Perjasi malah ngotot dukung PTI melawan menpora. Mereka lupa kalau Perjasi mereka kerap menunggak gaji pemainnya namun dianggap angin PTI dengan cap profesional. Jikminia lupa kalau selain permainan bola semata mereka juga perlu memuliakan pemainnya. Mereka mendukung gelaran liga tanpa supervisi profesional.
Suporter timnas juga ditakut-takuti dengan suspensi laga internasional yang akan terjadi di masa sangsi PIPA. Padahal timnas mau main dan prestasi ajang apaan sih dalam waktu dekat? Di masa nyaman saja gak bisa berprestasi kok.
Terakhir PTI meracuni para pemain untuk ikut bersuara di media perihal ketakjelasan kompetisi yang mengkhawatirkan mereka. Di sini kita bingung. Bukankah mereka pemain profesional yang punya kontrak tentang gaji. Harusnya dimundurkan setahun satu selama apapun mereka tetap aman karena toh pembayaran mereka tetap. Tanding atau tidak kan dalam rentang waktu dalam kontrak mereka tatap diurus klub, mengapa takut?
Nah ini membuka beberapa kemungkinan. Pertama, para pemain memang tak punya kontrak profesional. Kedua, mereka tak paham isi kontrak dan rela saja dirugikan. Ketiga, melihat yang sudah-sudah mereka menebak kontrak tak akan dibayarkan. Keempat, maju ke pengadilan pun tak akan membuat klub memenuhi kontrak dengan alasan penghentian kompetisi.
Sejauh ini skor sudah 2-0. PTI makin terpojok. Kita tunggu saja kelanjutan laga ini yang akan berakhir bila salah satunya terlucuti tanpa daya.
Sekian cerita kawan saya dari Insomnia. Di negeri saya semoga klub-klubnya tak setolol klub di Insomnia yang mau kamikaze hanya karena 2 klub bermasalah. Saran saya buat persepakbolaan Insomnia: Tinggalkan 2 klub itu dan jalan terus; atau sembuhkan dulu 2 klub itu dan lanjutkan kompetisi tapi tetap tanpa PTI.

Kompasiana 27 April 2015 | 08:20 

Senin, 13 April 2015

Kisah Kisruh Bola Insomnia

Ada sebuah cerita, tentang olahraga di dunia lain. Sebut saja namanya terjangbola. Cabang olahraga ini sungguh diminati di planet itu. Setiap terjangbola digelar piala dunianya seisi planet akan bersemangat. Negara-negara berprestasi di cabor terjangbola selalu sukses menjadi hiburan makluk planet di dunia lain ini.
Cabor terjangbola ini juga punya asosiasi yang menjadi wadah pengembangannya demi keteraturan seluruh stakeholdernya. Baik pemilik klub, atlet, pelatif, ofisial, wasit, fans, bahkan negara-negara difasilitasi di dalamnya. Asosiasi bernama PIPA itu sungguhlah hebat dan ketat dalam menjalankan aturan mereka. Saking mendunianya PIPA, bahkan pemerintah negara-negara di planet ini tak diperkenankan mengganggu afiliasi dari PIPA ini di setiap negara. Tujuan utamanya adalah demi fair play dan tentu saja kemurnian cabor itu sendiri yang diharapkan jauh dari isu politis.
Kehebohan terjangbola kemudian sampai dan juga bergaung di negeri berpenduduk banyak namun miskin prestasi cabor ini bernama Insomnia. Warganya yang sudah banyak beban pikiran kerap terhibur dengan aksi terjangbola di televisi. Warga Insomnia yang rata-rata sumbu pendek ini kerap makin bersemangat bilamana isu kedaerahan dijadikan bumbu kompetisi terjangbola di negerimereka. Walau Insomnia lama tak punya prestasi di sekup region, dipinggirkan di sekup interkontinental, bahkan tak dihitung di level dunia; terjangbola tetap dianggap sebuah cabor bergengsi di negeri ini.
Adalah Persatuan Terjangbola Insomnia (PTI) yang merupakan afiliasi PIPA yang mengelola terjangbola di Insomnia. Awalnya asosiasi ini biasa saja dan tak terlalu bergengsi untuk diperebutkan kepengurusannya. Jangankan secara keanggotaan PIPA, di Insomnia ketua PTI juga tak ramai kalau sedang ada pemilihan ketuanya. Namun lambat laun PTI berhasil mengemas terjangbola di Insomnia lebih menarik, terutama memelihara fanatisme daerah yang jadi sajian menarik dalam kompetisi.
Cerita punya cerita PTI kemudian menjalankan kompetisi dengan sedikit penyimpangan. Karena beberapa pengurusnya memiliki kepentingan lain di terjangbola, kompetisi yang tadinya seru mulai banyak pelanggarannya. Ada pengurus PTI yang juga pemilik klub di kompetisi, tentuny ada hal-hal tak sepantasnya yang bisa dimanfaatkan demi kemajuan klubnya. Ada pengurus yang bermain mata dengan bandar judi skor terjangbola. Ada pula pengurus yang memanfaatkan terjangbola demi popularitas politik menjelang pemilu di Insomnia.
Kompetisi yang jadi jalan utama membentuk timnas terjangbola jadinya amburadul. Beberapa klub pesertanya berprestasi karena kerap dibantu wasit lewat hadiah penalti semata. Imbasnya, kala main di level internasional klub ini diganyang lawan yang biasa berprestasi dalam persaingan kualitas tingkat tinggi. Klub yang punya dana minim difasilitasi ikut dalam kompetisi yang katanya profesional banyak terjadi. Niatnya mungkin bisa saja dikatakan baik, namun manakala klub gagal membayar gaji atlet, pengurus PTI tak ambil pusing dan menyerahkan semua kembali pada klub untuk menyelesaikan tunggakan gaji pemainnya. Tak ada hukuman buat pengurus klub yang gagal membayar tadi. Boro-boro dihukum, pengurus tadi malah difasilitasi untuk mengikuti kompetisi tahun berikutnya.
Kabar angin di Insomnia, para pengurus klub ternyata banyak berasal dari pimpinan daerah asal klub tersebut. Dalam banyak cerita yang beredar, APBD  banyak dimainkan dengan dalih pada pembinaan klub terjangbola daerah tersebut. Main di sini main di sana, pokoknya terjangbola kini benar-benar menggemaskan.
Tonton saja satu laga, kerap ramai dengan hinaan rasial fans yang tak pernah diambil pusing PTI yang harusnya mengikuti PIPA dalam hal menolak rasisme. Pemain yang merasa punya nama beken bisa sesukanya melawan wasit dan tak dihukum berat oleh PTI. Banyak lagi deh kisah durjana di terjangbola Insomnia.
Gerakan perlawanan pun muncul. Dalam pemilihan pengurus PTI calon di luar pengurus selama ini mendaftar. Tapi PTI tentu sadar besar nilai mereka dan berjuang untuk tak tergantikan. Namun arus besar reformasi bergaung dan pengurus PTI lama digusur. PTI Reformasi pun resmi mengelola terjangbola Insomnia.
Tapi, dasar anak baru. PTI Reformasi rupanya gagal memahami peta kekuatan di Insomnia. Beberapa kebijakannya membuat gerah klub-klub berbasis fans besar. Klub-klub yang sudah muak dengan PTI korup sebelumnya itu kemudian unjuk gigi untuk memperingatkan PTI Reformasi untuk tidak sporadis melakukan revolusi. Bagi mereka evolusi yang smooth lebih nyaman untuk memulai era baru terjangbola Insomnia. Akibatnya dua kompetisi pun berjalan secara tidak wajar di Insomnia.
Keributan kecil antara PTI Reformasi dengan Klub-klub tadi dimanfaatkan PTI lama untuk kembali. PTI Reformasi kemudian digulung dalam sebuah kongres. Walau ketuanya tetap dari PTI Reformasi, namun seluruh stafnya diganti oleh rezim pengurus PTI lama yang telah kembali bercokol.
PTI yang kembali diurus rezim yang lama kemudian juga mendepak klub-klub yang mendukung PTI Reformasi dulu. Klub bernama Kontra Duta yang menjadi pemenang dalam turnamen menuju persatuan liga kemudian ditolak masuk liga utama. Klub bernama sama yang lahir dalam dualisme kompetisi kemudian dilebur dengan keuntungan bagi pihak pendukung PTI lama tentunya. Hal ini kemudian menyakiti klub Perseyaba yang kemudian turut digusur sebagaimana Kontra Duta.
Perseyaba ini secara historis adalah klub berprestasi di terjangbola Insomnia. Basis fansnya besar dan terkenal dengan nama Kenob. Salahnya adalah karena mereka berkompetisi di liga PTI Reformasi semasa dualisme kompetisi. Di masa itu pengurus PTI lama menciptakan klub siluman bernama Perseyaba juga untuk mengikuti liga perlawanan mereka. Ironisnya lagi, presiden klub Perseyaba antah-berantah malah jadi wakil ketua PTI hasil kongers terakhir yang mengembalikan pengurus PTI lama ke PTI. Jadilah Perseyaba asli dimatikan walau punya sejarah besar dan Perseyaba kloning baru berdiri berjajar dengan klub-klub besar di kompetisi terjangbola Insomnia.
Beda cerita di kenegaraan, terjadi perubahan pemerintahan di Insomnia. Menpora pemerintahan sebelumnya yang cuma caretaker dan sukses mengembalikan pengurus lama ke PTI sudah diganti (menpora asli awalnya adalah pejuang jantan yang ingin mereformasi PTI juga namun terlibat kasus korupsi yang kabarnya hanya kriminalisasi). Menpora baru ini menuntut isu “profesional” yang dibawa PTI kini. Organisasi oalhraga profesional bernama POPI pun dibentuk. Hasilnya peserta kompetisi yang gemuk jumlahnya dipangkas jadi 18 klub. Kemuadian 18 klub ini diseleksi lagi dengan rekomendasi menggugurkan dua klub yang salah satunya adalah Perseyaba kloningan tadi.
Tapi PTI merasa heboh sendiri. Dengan dasar pikiran kekuatan mereka yang dibiarkan pemerintah sebelumnya merajalela, PTI nyaman saja membiarkan Perseyaba kloningan dan Amera ikut di musim kompetisi terbaru.Padahal kedua klub ini dicekal karena masalah kepemilikan klub yang belum jelas selepas peleburan dualisme liga dan dualisme klub.
Sesungguhnya Kenobmania yang jadi basis fans Perseyaba asli memahami hal ini. Mereka mendukung pembekuan Perseyaba kloningan karena pada umumnya tahu mana Perseyaba yang harus didukung di terjangbola Insomnia. Munculnya protes atas kebijakan POPI oleh Kenobmania diduga hanya segelitir sosok pasukan nasi bungkus semata. Lalu bagaimana dengan Amera yang juga dicekal? Beda dengan Kenobmania, Amerania yang jadi pendukung Amera tak terlalu menggubris siapa pengurus klub asli atau kloningan. Tadinya Amera asli adalah yang turut di liga PTI Reformasi, namun karena tak berprestasi Amerania pindah mendukung Amera kloningan yang main di liga tandingan era dualisme kompetisi hingga kini. Bagi Amerania mungkin semuanya sederhana. Tak peduli siapa pengurusnya, selama Amera punya prestasi itu akan didukung jadi hiburan mereka (pure feel saja).
Menpora yang saat ini ternyata beda dengan caretaker menpora sebelumnya. Interfensi siap dilakukan manakala PTI tak menjalankan prinsip profesionalisme. Tentu saja karena negara tak boleh kalah sama mafia bukan? PTI pun mencoba berlindung di bawah ketiak PIPA. Surat ancaman PIPA pun turun walau kita juga bingung kenapa PIPA malah mendukung PTI yang jelas tidak profesional. Tapi Menpora Insomnia sepertinya tidak takut. Banded dari PIPA sekalipun bukan berarti neraka. Toh tak ada agenda internasional penting terjangbola yang akan membuat Insominia kehilangan momentum juara wong prestasi saja tak ada.
Menpora sepertinya lebih berani dan sadar dengan pikiran sehat untuk melakukan operasi besar demi terjangbola Insomnia yang lebih baik. Ribut-ribut PTI kali ini bisa jadi jalan tepat membasmi mafia terjangbola yang sudah seperti kanker. Tak apa dikucilkan sementara dari PIPA supaya para mafia yang jadi kangker lenyap dulu untuk kemudian membangun kembali semua dari nol dan jelas ternetralisir dari virus.
Semoga niat baik Menpora Insomnia ini bisa dipahami rakyat. Semoga rakyat tak mau dipanas-panasi segelintir pasukan nasi bungkus keluaran mafia bola di Insomnia yang punya kekuatan uang besar tentunya.
Well, itulah yang saya dengar terjadi di Insomnia dalam perjalanan saya menembus ruang dan waktu. Salam untuk Menpora Insomnia. Semoga cerita yang sama terjadi di negeri penulis dan pembaca tercerahkan dengan kemungkinan ini bila mana terjadi di negeri ini.
Semoga tak salah post yah, walau ini fiksi tapi karena ada kata “bola” maka enaknya saya post di forum olahraga……

Kompasiana 14 April 2015 | 07:46

Substansi Ketimbang Kemasan

Selasa lalu seorang siswi kelas XI TMM meledak karena "diisengi" kawannya di waktu yang tak pas. Di depan saya-guru bahasanya-sang siswi mengucapkan kata2 yang tak senonoh menurut kawan2nya.
Saat beberapa siswa iseng menuntut "keadilan" pada ucapan siswi tadi, tapi ini tanggapan saya: Tak ada yang salah dengan ucapan siswi tadi, justru dia sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Baik" karena bahasanya sesuai kaidah. Dalam pelajaran bahasa di sekolah kita mengenal sarkasme sebagai sebuah gaya bahasa. Kaidah kebahasaannya tak salah walau menyebut nama hewan atau kotoran karena ujaran seperti itu tak salah. Posisi adanya unsur predikatif sebagai sebuah syarat awal sebuah kalimat sudah terpenuhi.
Berikutnya adalah soal "benar". Berbahasa Indonesia yang benar artinya sesuai konteks. Maka manakala dalam konteks pembicaraan di mana si pengujar harus bersarkasme semua tak salah. Ini hanya masalah elegan atau tidak.
Dalam konteks bertemu dengan begal di jalan misalnya: atau kita hendak melampiaskan kekesalan kita dengan pengemudi ugal-ugalan, apakah perlu eufemisme atau penghalusan kata? Dalam konteks perkelahian atau kejengahan tindak sarkasme adalah hal yang tak salah. Semua hanya masalah elegan atau tidak, namun substansinya yang utama. Kala kita meneriakkan nama2 hewan dalam konteks dibully dan kita melawan dengan sarkasme itu hal yang tidak salah tempat.
Singkatnya saya tak menyalahkan siswi saya yang terpaksa bersarkasme untuk menunjukkan emosinya karena mungkin "tak biasa" atau sedang "PMS"-bisa saja kan-saat diisengi kawannya. Saya justru tetap menyoroti pelaku keisengan untuk ditindak, karena bahasa "keras" sang siswi tak mengapus hal substansia yang lebih penting saya hakimi sebagai guru: membenahi perilaku jahil.
Seolah bertalian dengan cerita saya, Jumat lalu saya menonton aksi Ahok dengan Aiman di Youtube. Jelas sekali saya setuju dengan segala urai sang gubernur untuk menyentil para perusak negeri ini yang merupakan tikus-tikus berdasi.
Walau beberapa kali ada nada "tut" di video itu, saya tahu hal itu tak masalah dan tidak juiga mengurangi substansi ujaran dan informasi yang diurai. Soal tidak elegan yang mirip aksi siswi saya tadi tak membuat saya kehilangan substansi pada apa yang benar ataupun salah.
Namun menonton di Youtube karena terlewat tayangan langsung di Kompas TV memang punya sedikit perbedaan rasa.
Yang lucu adalah uraian Tantowi Yahya di TV One malam ini. Yang diributkan adalah bahasa Ahok dan bukan substansi masalahnya.
Ekspresenter yang tadinya kiblat publik speaking saya itu rasanya sudah jauh berubah. Dia kini buat saya bak sebagai seorang aktor di duniab nyata. Entah saya yang salah atau mungkin ada yang merasakan hal sama, sejak masuk dunia politik pria satu ini seakan memerankan seorang tokoh antagonis sinetron tapi dilakukan di dunia nyata. Dalam pelbagai kegiatan kehumasannya dia seperti rela perperan sebagai penyerang, walau tak punya amunisi apapun. Dalam beberapa kesempatan dia seperti seorang yang tahu kalau yang dibicarakannya salah dan tak substantif tapi dilakukan juga karena mungkin dah terlajur teken kontrak dengan perannya. Dan itulah yang baru terjadi.
Tantowi dan narasumber satunya persis murid saya yang sengaja cari kesalahan berbahasa Ahok dalam wawancara eksklusif dengan Aiman waktu kemarin. Seakan mereka bukan orang pintar yang bisa memahami substansi masalah bahwa Ahok sedang memberikan pencerahan pada kita tentang bagaimana caranya mafia anggaran telah membodohi kita selama bertahun-tahun. Buat mereka seakan Ahok hanya pengujar kebusukan yang akan memberi contoh buruk anak2 lewat bahasa kasarnya.
Well, mungkin karena posisi mereka bersebrangan dan tentu ada "peran" yang terlanjur diteken kontrak.
Bicara soal munafik, Ahok bahkan tak merespons cengeng manakala dihujat "Cina bangsat" waktu lalu. Dia juga sadar konteks emosional sidang dewan dan hanya menyerap hinaan itu dengan canda pahit. Toh dia juga sadar kalau dia sekalipun bisa berkata sama manakala ditekan emosi.
Saya sadar tindakan pembelaan saya pada siswi saya yang berkalimat tak elegan memang tak sepenuhnya benar. Namun tanpa memberi pengertian lebih lanjut murid2 saya yang lain mengerti maksud saya dan tersenyum2 malu karena mereka tahu substansi benar-salah dan kenapa saya membenarkan siswi tadi. Pun soal Ahok. Dalam kondisi nyata siswa-siswi saya yang juga saya mintai pendapat soal wawancara Ahok juga mengerti arah pembicaraan yang ditonton dan hanya geleng2 dengan kenyataan yang dikuak. Soal kata2 kasar sang Gubernur, saya tetap heran karena murid remaja saya saja tahu bukan itu substansinya, tapi kenapa masih saja ada yang mempermasalahkan.
Okelah, saya hanya orang kecil yang mencoba bersuara. Kita saksikan saja kelanjutan cerita bangsa kita Indonesia, merdeka.

Notes Facebook 22 March 2015 at 00:39

Menanti Geliat Juve Demi Serie A

Baru saja rasa iseng membuai diri pada geliat lama saat remaja dulu. Kala kejenuhan melanda diri maka Youtube jadi sarana hiburan tersendiri untuk membiarkan putaran video pilihan mencerahkan diri.
Kali ini tiba-tiba ada tautan video Batistuta yang menggoda untuk saya klik. Buffer berjalan dan saya menikmati 10 gol terbaik dari sang dewa gol. Tiba-tiba saya ingat akan gairah sepakbola masa remaja dulu yang kerap bertaut dengan guliran Seri A.
Video Batistuta itu mengingatkan saya akan gemerlap Serie A di era 90-an dan awal 2000-an. Tak terasa era itu sudah jauh tertinggal. Kini Serie A yang bisa tayang 2-3 laga per pekan di Kompas TV terasa tak segemerlap dulu kala RCTI hanya menayangkan bahkan satu laga saja per pekannya. Entah karena akses informasi yang sudah sedemikian canggihkah yang membuat rasa dahaga hiburan Serie A sirna ataukah semata minimnya bintang di Italia yang buat mata malas melirik dibanding dulu.
Saya adalah seorang LAziale yang memang masih memantau pergerakan Lazio dari setiap media. Terlepas dari kekuatan “semenjana” Biancoceleste saat ini, tapi gairah menikmati Serie A terasa meredup dari pekan ke pekan. Bila tak ada laga Lazio baiknya saya lewatkan tayangan Serie A tuk saat ini. Pun bila Lazio main subuh WIB, rasanya lebih baik menanti skornya saja di berita pagi hari ketimbang begadang menanti aksi.
Mungkin saya sudah kehilangan gairah selepas masa remaja berganti pada dewasa. Namun kaum muda di sisi saya jua sudah tak lagi menikmati Serie A.
Di awal era 2000, kala Winning Eleven masih banyak dimainkan di rental PS 1, tim pilihan para player umumnya tak lepas dari magnificent seven sister Serie A. Bahkan pemain pujaan jua tak jauh dari punggawa Serie A. Namun selepas Calciopoli Serie A benar-benar tersungkur. Terakhir selepas era Mourinho mengukir treble di 2010 lalu kemudian hijrah ke Madrid rasanya Serie A sungguh tak menarik.
Juventus yang memulai momen meraja kembali tak kunjung bisa memberi tusukan untuk Eropa. Milan dan Inter seperti tenggelam dalam usaha membangun tim yang kerap merana. Roma yang jadi pesaing perburuan scudeto cuma bisa tampil oke di ranah lokal. Lazio saya juga kerap rusak prestasinya bila berkompetisi di tiga turnamen dalam semusim. Fiorentina timbul-tenggelam. Napoli atau Udinese juga tak memesona Erop apalagi dunia. Terakhir Parma kini malah sedang di ujung kebangkrutan.
Serie A, bagaimana nasibmu nanti yah….
Malam nanti Juventus akan berlaga jadi wakil Italia semata wayang di kompetisi tertinggi Eropa. Lawannya adalah Dortmund yang baru bangkit dari keterpurukan. Mari kita nanti geliat Juve demi gengsi Serie A. Kondisi 5 tim Italia di 32 besar Liga Eropa sendiri tentu bukan kebanggaan.
Mari simak aksi Tevez dan Llorente di kandang malam ini. Semoga bisa jadi penyemangat Torino, Inter, Napoli, Fiorentina, dan Roma yang akan mempertaruhkan asa di Liga Eropa esok malam.

Kompasiana 24 February 2015 | 15:42