Senin, 13 April 2015

Substansi Ketimbang Kemasan

Selasa lalu seorang siswi kelas XI TMM meledak karena "diisengi" kawannya di waktu yang tak pas. Di depan saya-guru bahasanya-sang siswi mengucapkan kata2 yang tak senonoh menurut kawan2nya.
Saat beberapa siswa iseng menuntut "keadilan" pada ucapan siswi tadi, tapi ini tanggapan saya: Tak ada yang salah dengan ucapan siswi tadi, justru dia sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Baik" karena bahasanya sesuai kaidah. Dalam pelajaran bahasa di sekolah kita mengenal sarkasme sebagai sebuah gaya bahasa. Kaidah kebahasaannya tak salah walau menyebut nama hewan atau kotoran karena ujaran seperti itu tak salah. Posisi adanya unsur predikatif sebagai sebuah syarat awal sebuah kalimat sudah terpenuhi.
Berikutnya adalah soal "benar". Berbahasa Indonesia yang benar artinya sesuai konteks. Maka manakala dalam konteks pembicaraan di mana si pengujar harus bersarkasme semua tak salah. Ini hanya masalah elegan atau tidak.
Dalam konteks bertemu dengan begal di jalan misalnya: atau kita hendak melampiaskan kekesalan kita dengan pengemudi ugal-ugalan, apakah perlu eufemisme atau penghalusan kata? Dalam konteks perkelahian atau kejengahan tindak sarkasme adalah hal yang tak salah. Semua hanya masalah elegan atau tidak, namun substansinya yang utama. Kala kita meneriakkan nama2 hewan dalam konteks dibully dan kita melawan dengan sarkasme itu hal yang tidak salah tempat.
Singkatnya saya tak menyalahkan siswi saya yang terpaksa bersarkasme untuk menunjukkan emosinya karena mungkin "tak biasa" atau sedang "PMS"-bisa saja kan-saat diisengi kawannya. Saya justru tetap menyoroti pelaku keisengan untuk ditindak, karena bahasa "keras" sang siswi tak mengapus hal substansia yang lebih penting saya hakimi sebagai guru: membenahi perilaku jahil.
Seolah bertalian dengan cerita saya, Jumat lalu saya menonton aksi Ahok dengan Aiman di Youtube. Jelas sekali saya setuju dengan segala urai sang gubernur untuk menyentil para perusak negeri ini yang merupakan tikus-tikus berdasi.
Walau beberapa kali ada nada "tut" di video itu, saya tahu hal itu tak masalah dan tidak juiga mengurangi substansi ujaran dan informasi yang diurai. Soal tidak elegan yang mirip aksi siswi saya tadi tak membuat saya kehilangan substansi pada apa yang benar ataupun salah.
Namun menonton di Youtube karena terlewat tayangan langsung di Kompas TV memang punya sedikit perbedaan rasa.
Yang lucu adalah uraian Tantowi Yahya di TV One malam ini. Yang diributkan adalah bahasa Ahok dan bukan substansi masalahnya.
Ekspresenter yang tadinya kiblat publik speaking saya itu rasanya sudah jauh berubah. Dia kini buat saya bak sebagai seorang aktor di duniab nyata. Entah saya yang salah atau mungkin ada yang merasakan hal sama, sejak masuk dunia politik pria satu ini seakan memerankan seorang tokoh antagonis sinetron tapi dilakukan di dunia nyata. Dalam pelbagai kegiatan kehumasannya dia seperti rela perperan sebagai penyerang, walau tak punya amunisi apapun. Dalam beberapa kesempatan dia seperti seorang yang tahu kalau yang dibicarakannya salah dan tak substantif tapi dilakukan juga karena mungkin dah terlajur teken kontrak dengan perannya. Dan itulah yang baru terjadi.
Tantowi dan narasumber satunya persis murid saya yang sengaja cari kesalahan berbahasa Ahok dalam wawancara eksklusif dengan Aiman waktu kemarin. Seakan mereka bukan orang pintar yang bisa memahami substansi masalah bahwa Ahok sedang memberikan pencerahan pada kita tentang bagaimana caranya mafia anggaran telah membodohi kita selama bertahun-tahun. Buat mereka seakan Ahok hanya pengujar kebusukan yang akan memberi contoh buruk anak2 lewat bahasa kasarnya.
Well, mungkin karena posisi mereka bersebrangan dan tentu ada "peran" yang terlanjur diteken kontrak.
Bicara soal munafik, Ahok bahkan tak merespons cengeng manakala dihujat "Cina bangsat" waktu lalu. Dia juga sadar konteks emosional sidang dewan dan hanya menyerap hinaan itu dengan canda pahit. Toh dia juga sadar kalau dia sekalipun bisa berkata sama manakala ditekan emosi.
Saya sadar tindakan pembelaan saya pada siswi saya yang berkalimat tak elegan memang tak sepenuhnya benar. Namun tanpa memberi pengertian lebih lanjut murid2 saya yang lain mengerti maksud saya dan tersenyum2 malu karena mereka tahu substansi benar-salah dan kenapa saya membenarkan siswi tadi. Pun soal Ahok. Dalam kondisi nyata siswa-siswi saya yang juga saya mintai pendapat soal wawancara Ahok juga mengerti arah pembicaraan yang ditonton dan hanya geleng2 dengan kenyataan yang dikuak. Soal kata2 kasar sang Gubernur, saya tetap heran karena murid remaja saya saja tahu bukan itu substansinya, tapi kenapa masih saja ada yang mempermasalahkan.
Okelah, saya hanya orang kecil yang mencoba bersuara. Kita saksikan saja kelanjutan cerita bangsa kita Indonesia, merdeka.

Notes Facebook 22 March 2015 at 00:39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar