Selasa
lalu seorang siswi kelas XI TMM meledak karena "diisengi" kawannya di
waktu yang tak pas. Di depan saya-guru bahasanya-sang siswi mengucapkan
kata2 yang tak senonoh menurut kawan2nya.
Saat beberapa siswa iseng menuntut "keadilan" pada ucapan siswi
tadi, tapi ini tanggapan saya: Tak ada yang salah dengan ucapan siswi
tadi, justru dia sudah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Baik" karena bahasanya sesuai kaidah. Dalam pelajaran bahasa di
sekolah kita mengenal sarkasme sebagai sebuah gaya bahasa. Kaidah
kebahasaannya tak salah walau menyebut nama hewan atau kotoran karena
ujaran seperti itu tak salah. Posisi adanya unsur predikatif sebagai
sebuah syarat awal sebuah kalimat sudah terpenuhi.
Berikutnya adalah soal "benar". Berbahasa Indonesia yang benar
artinya sesuai konteks. Maka manakala dalam konteks pembicaraan di mana
si pengujar harus bersarkasme semua tak salah. Ini hanya masalah elegan
atau tidak.
Dalam konteks bertemu dengan begal di jalan misalnya: atau kita
hendak melampiaskan kekesalan kita dengan pengemudi ugal-ugalan, apakah
perlu eufemisme atau penghalusan kata? Dalam konteks perkelahian atau
kejengahan tindak sarkasme adalah hal yang tak salah. Semua hanya
masalah elegan atau tidak, namun substansinya yang utama. Kala kita
meneriakkan nama2 hewan dalam konteks dibully dan kita melawan dengan
sarkasme itu hal yang tidak salah tempat.
Singkatnya saya tak menyalahkan siswi saya yang terpaksa bersarkasme
untuk menunjukkan emosinya karena mungkin "tak biasa" atau sedang
"PMS"-bisa saja kan-saat diisengi kawannya. Saya justru tetap menyoroti
pelaku keisengan untuk ditindak, karena bahasa "keras" sang siswi tak
mengapus hal substansia yang lebih penting saya hakimi sebagai guru:
membenahi perilaku jahil.
Seolah bertalian dengan cerita saya, Jumat lalu saya menonton aksi
Ahok dengan Aiman di Youtube. Jelas sekali saya setuju dengan segala
urai sang gubernur untuk menyentil para perusak negeri ini yang
merupakan tikus-tikus berdasi.
Walau beberapa kali ada nada "tut" di video itu, saya tahu hal itu
tak masalah dan tidak juiga mengurangi substansi ujaran dan informasi
yang diurai. Soal tidak elegan yang mirip aksi siswi saya tadi tak
membuat saya kehilangan substansi pada apa yang benar ataupun salah.
Namun menonton di Youtube karena terlewat tayangan langsung di Kompas TV memang punya sedikit perbedaan rasa.
Yang lucu adalah uraian Tantowi Yahya di TV One malam ini. Yang diributkan adalah bahasa Ahok dan bukan substansi masalahnya.
Ekspresenter yang tadinya kiblat publik speaking saya itu rasanya
sudah jauh berubah. Dia kini buat saya bak sebagai seorang aktor di
duniab nyata. Entah saya yang salah atau mungkin ada yang merasakan hal
sama, sejak masuk dunia politik pria satu ini seakan memerankan seorang
tokoh antagonis sinetron tapi dilakukan di dunia nyata. Dalam pelbagai
kegiatan kehumasannya dia seperti rela perperan sebagai penyerang, walau
tak punya amunisi apapun. Dalam beberapa kesempatan dia seperti seorang
yang tahu kalau yang dibicarakannya salah dan tak substantif tapi
dilakukan juga karena mungkin dah terlajur teken kontrak dengan
perannya. Dan itulah yang baru terjadi.
Tantowi dan narasumber satunya persis murid saya yang sengaja cari
kesalahan berbahasa Ahok dalam wawancara eksklusif dengan Aiman waktu
kemarin. Seakan mereka bukan orang pintar yang bisa memahami substansi
masalah bahwa Ahok sedang memberikan pencerahan pada kita tentang
bagaimana caranya mafia anggaran telah membodohi kita selama
bertahun-tahun. Buat mereka seakan Ahok hanya pengujar kebusukan yang
akan memberi contoh buruk anak2 lewat bahasa kasarnya.
Well, mungkin karena posisi mereka bersebrangan dan tentu ada "peran" yang terlanjur diteken kontrak.
Bicara soal munafik, Ahok bahkan tak merespons cengeng manakala
dihujat "Cina bangsat" waktu lalu. Dia juga sadar konteks emosional
sidang dewan dan hanya menyerap hinaan itu dengan canda pahit. Toh dia
juga sadar kalau dia sekalipun bisa berkata sama manakala ditekan emosi.
Saya sadar tindakan pembelaan saya pada siswi saya yang berkalimat
tak elegan memang tak sepenuhnya benar. Namun tanpa memberi pengertian
lebih lanjut murid2 saya yang lain mengerti maksud saya dan tersenyum2
malu karena mereka tahu substansi benar-salah dan kenapa saya
membenarkan siswi tadi. Pun soal Ahok. Dalam kondisi nyata siswa-siswi
saya yang juga saya mintai pendapat soal wawancara Ahok juga mengerti
arah pembicaraan yang ditonton dan hanya geleng2 dengan kenyataan yang
dikuak. Soal kata2 kasar sang Gubernur, saya tetap heran karena murid
remaja saya saja tahu bukan itu substansinya, tapi kenapa masih saja ada
yang mempermasalahkan.
Okelah, saya hanya orang kecil yang mencoba bersuara. Kita saksikan saja kelanjutan cerita bangsa kita Indonesia, merdeka.
Notes Facebook 22 March 2015 at 00:39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar