
Ilustrasi/Admin (KOMPAS)
Tak sekadar sekali, saya bahkan dua kali ke bioskop dalam 3 hari, untuk menyimak “5 Cm” pertama, dan kemarin untuk “Habibie-Ainun”. Propaganda kedua film itu di TV membuat saya penasaran dan mengajak saya melangkahkan kaki bersama istri tercinta untuk melenggang ke bioskop untuk dua film nasional itu.
Untuk “5 Cm”, mohon maaf kalau saya subjektif, menurut saya sungguh tak kena di hati. Okelah gambar yang ditampilkan memang bagus dan memberi pengertian baik terhadap kekayaan alam nasional; tapi buat saya yang lebih tertarik pada cerita dan tak punya hobi menjelajah alam, film ini belum pas menohok arti persahabatan yang banyak diupayakan untuk ditonjolkan. Bagi saya yang awam dan mungkin warga kelas dua negeri ini, perjalanan seperti yang dilakukan di film mungkin buang-buang waktu dan biaya, agak hedonis dalam bentuk lainnya. Maaf bila saya punya pandangan ini. Tapi, banyak orang yang saya kira sama “tertipu” dengan ramainya penonton film ini, yang di tempat saya menonton di Cinere diputar 2 studio sekaligus. Ekspektasi akan seharu kala melihat “Laskar Pelangi” atau “Ayat-ayat Cinta” tak saya temukan di film ini, walau yang antre tiket bejubel.
Walau ada sedikit kekecewaan, tapi tak mengurangi penghargaan saya atas kerja keras para pembuatnya, saya tetap menjadwalkan kemarin sore untuk menonton “Habibie-Ainun”. Saya sedikit menurunkan standar saat lihat Reza Rahardian yang memainkan Habibie sungguh tak mirip secara fisik. Tapi, perlahan hingga habisnya pemutaran film, saya malah merasa puas dan mendapatkan pukulan pada beberapa sisi kebangsaan saya ketimbang “5 Cm”.
Film itu tak sekadar propaganda untuk membersihkan nama seorang Habibie, sudah sejak kuliah saya tahu dari seorang kawan yang kuliah di jurusan bahasa Jerman kalau Habibie itu orang pintar dan tak dihargai di negerinya yang genah ripah loh jinawi itu. Dia gagal jadi pemimpin karena otaknya yang eksak dan saklek gagal memimpin bangsa ini yang mbalelo ke mana-mana. Cerita plus bukti dari kawan tadi sebenarnya telah membuat saya minta maaf dalam hati karena turut senang kala menonton penolakan pertanggungjawaban Habibie di sidang umum MPR kala SMA dulu di tahun 1999.
Singkatnya, saya menemukan beberapa keping puzzle yang belum masuk pikiran saya untuk meluruskan bahwa Habibie adalah salah satu tokoh besar yang gagal diterima rakyat bukan karena dosanya, namun karena ketidaksiapan sistem kita untuk bergerak dengan langkah yang baik. Memang kisah cinta Sang Profesor yang diangkat di sini, namun rakyat jelas akan dibuat percaya melihat jalan hidupnya yang tak mangkir dari cinta yang diusung, tak hanya pada sang istri, tapi juga pada bangsanya. Dan salut pada Reza Rahardian yang ternyata melebihi ekspektasi saya memerankan Habibie.
Keluar dari film, saya mulai berpikir. Sukarno begitu banyak kontroversi namun dikenang baik oleh jutaan rakyat. Pun Soeharto, terlepas dari sepak terjangnya yang katanya diktator, banyak rakyat yang merindukan sejengkal kedamaian di masanya. Habibie dengan film ini (karena masyarakat kita ogah membaca) jelas beri kesan negarawan jua kalau tak benar di adalah badut sebagaimana banyak orang bilang. Gus Dur punya sejuta pujian atas heterogenitas yang diusungnya, walau ada pihak-pihak yang meremehkannya. Maka saya mulai berpikir, apa yang Megawati dan SBY tinggalkan untuk bangsa ini.
Bu Mega memang sudah melewati eranya dengan tak terlalu banyak hal yang bisa digarisbawahi, dan ini juga terjadi menurut saya di era SBY. Namun SBY belum menyelesaikan eranya. Pak SBY, begitu banyak masalah yang terjadi kini dan saya tak melihat Bapak berlaku sebagai adanya, ingin seperti apa Bapak saya kenang? Masih ada satu setengah tahun lagi, Pak. Ayo dong, bangkitkan kami dengan keberdayaan Bapak.
HL | 21 December 2012 | 06:01
Jadi HL Kompasiana:
http://politik.kompasiana.com/2012/12/21/oleh-oleh-habibie-ainun-sby-ingin-bagaimana-kau-dikenang-518455.html