Jumat, 21 Desember 2012

Oleh-oleh ‘Habibie-Ainun’: SBY, Ingin Bagaimana Kau Dikenang?


1356057079239026050
Ilustrasi/Admin (KOMPAS)

Minggu ini ada yang beda dengan cara saya menikmati film. Bila biasanya saya mulai menghindari film nasional di bioskop karena mulai punya stigma ketidakpuasan setelah menonton beberapa film nasional terakhir, pekan ini saya malah menonton film nasional secara berentet.
Tak sekadar sekali, saya bahkan dua kali ke bioskop dalam 3 hari, untuk menyimak “5 Cm” pertama, dan kemarin untuk “Habibie-Ainun”. Propaganda kedua film itu di TV membuat saya penasaran dan mengajak saya melangkahkan kaki bersama istri tercinta untuk melenggang ke bioskop untuk dua film nasional itu.
Untuk “5 Cm”, mohon maaf kalau saya subjektif, menurut saya sungguh tak kena di hati. Okelah gambar yang ditampilkan memang bagus dan memberi pengertian baik terhadap kekayaan alam nasional; tapi buat saya yang lebih tertarik pada cerita dan tak punya hobi menjelajah alam,  film ini belum pas menohok arti persahabatan yang banyak diupayakan untuk ditonjolkan. Bagi saya yang awam dan mungkin warga kelas dua negeri ini, perjalanan seperti yang dilakukan di film mungkin buang-buang waktu dan biaya, agak hedonis dalam bentuk lainnya. Maaf bila saya punya pandangan ini. Tapi, banyak orang yang saya kira sama “tertipu” dengan ramainya penonton film ini, yang di tempat saya menonton di Cinere diputar 2 studio sekaligus. Ekspektasi akan seharu kala melihat “Laskar Pelangi” atau “Ayat-ayat Cinta” tak saya temukan di film ini, walau yang antre tiket bejubel.
Walau ada sedikit kekecewaan, tapi tak mengurangi penghargaan saya atas kerja keras para pembuatnya, saya tetap menjadwalkan kemarin sore untuk menonton “Habibie-Ainun”. Saya sedikit menurunkan standar saat lihat Reza Rahardian yang memainkan Habibie sungguh tak mirip secara fisik. Tapi, perlahan hingga habisnya pemutaran film, saya malah merasa puas dan mendapatkan pukulan pada beberapa sisi kebangsaan saya ketimbang “5 Cm”.
Film itu tak sekadar propaganda untuk membersihkan nama seorang Habibie, sudah sejak kuliah saya tahu dari seorang kawan yang kuliah di jurusan bahasa Jerman kalau Habibie itu orang pintar dan tak dihargai di negerinya yang genah ripah loh jinawi itu. Dia gagal jadi pemimpin karena otaknya yang eksak dan saklek gagal memimpin bangsa ini yang mbalelo ke mana-mana. Cerita plus bukti dari kawan tadi sebenarnya telah membuat saya minta maaf dalam hati karena turut senang kala menonton penolakan pertanggungjawaban Habibie di sidang umum MPR kala SMA dulu di tahun 1999.
Singkatnya, saya menemukan beberapa keping puzzle yang belum masuk pikiran saya untuk meluruskan bahwa Habibie adalah salah satu tokoh besar yang gagal diterima rakyat bukan karena dosanya, namun karena ketidaksiapan sistem kita untuk bergerak dengan langkah yang baik. Memang kisah cinta Sang Profesor yang diangkat di sini, namun rakyat jelas akan dibuat percaya melihat jalan hidupnya yang tak mangkir dari cinta yang diusung, tak hanya pada sang istri, tapi juga pada bangsanya. Dan salut pada Reza Rahardian yang ternyata melebihi ekspektasi saya memerankan Habibie.
Keluar dari film, saya mulai berpikir. Sukarno begitu banyak kontroversi namun dikenang baik oleh jutaan rakyat. Pun Soeharto, terlepas dari sepak terjangnya yang katanya diktator, banyak rakyat yang merindukan sejengkal kedamaian di masanya. Habibie dengan film ini (karena masyarakat kita ogah membaca) jelas beri kesan negarawan jua kalau tak benar di adalah badut sebagaimana banyak orang bilang. Gus Dur punya sejuta pujian atas heterogenitas yang diusungnya, walau ada pihak-pihak yang meremehkannya. Maka saya mulai berpikir, apa yang Megawati dan SBY tinggalkan untuk bangsa ini.
Bu Mega memang sudah melewati eranya dengan tak terlalu banyak hal yang bisa digarisbawahi, dan ini juga terjadi menurut saya di era SBY. Namun SBY belum menyelesaikan eranya. Pak SBY, begitu banyak masalah yang terjadi kini dan saya tak melihat Bapak berlaku sebagai adanya, ingin seperti apa Bapak saya kenang? Masih ada satu setengah tahun lagi, Pak. Ayo dong, bangkitkan kami dengan keberdayaan Bapak.

HL | 21 December 2012 | 06:01
Jadi HL Kompasiana:
http://politik.kompasiana.com/2012/12/21/oleh-oleh-habibie-ainun-sby-ingin-bagaimana-kau-dikenang-518455.html

Kamis, 13 Desember 2012

Saat Sang Raja cuma Boneka

raja, adalah dia yang jadi titisan sang kuasa di mata rakyatnya. dia pemberi keadilan, dia pemberi keamanan, dia juga yang memelihara harga diri negeri.
tapi, raja di negeri angin sungguh berbeda. statusnya yang naik singgasana dengan daya seadanya membuat dirinya terpenjara.
awalnya semua sungguh indah manakala dayanya seadanya disokong banyak pihak dengan model gotong royong. keapaadanyaan itu dapat tertutupi oleh semua partner di sekelilingnya.
masalah baru muncul saat raja negeri angin ingin mandiri. ternyata tanpa penyokongnya dia gagal di hadapan senat, untuk pengentasan kemiskinan pun kas pribadinya kosong tanpa dukungan cukong penyokong. pun kala kebijakan yang dibuatnya dilanggar para penyokong, tak ada daya untuk sekadar menegur.
masalah makin rumit. wakilnya yang dasarnya banyak duit lebih banyak tampil jadi pemimpin. sang raja bak tukan stempel semata.
kemudian perusahaan salah satu penyokongnya buat bencana buat rakyat. tanpa bisa menegur anak buahnya yang berjasa menyokongnya itu sang raja diam saja kala kas negara dipakai tuk ganti rugi.
tibalah saat ganti wakil. sang raja menemukan jalan tuk lepas dari para penyokong lama. tapi penyokong lama tak bodoh. mereka tahu segala jenis kartu sang raja di eranya yang kedua.
dengan wakil baru demi bebas dari keterkungkungan penyokong lama, sang raja dan penyokong barunya sejenak tampil beda. tapi, perlahan penyokong barunya berulah bak penyokong lama. diam-diam merongrong kekuasaannya.
parahnya, penyokong lama yang pegang kartu ikut-ikutan menyetir sang raja. singkatnya, bukannya lepas dan bebas, kini sang raja terbelenggu kepentingan begitu banyak penyokongnya. dari era lama merangsek, era baru merongrong, pun para oposan meninju setiap kebijakannya.
keadilan kini makin nampak hanya bagi yang bayar. keamanan rakyat tak terjamin manakala cukong-cukong penyokong setiap saat bisa mengusir atas dalih apapun bahkan kerukunan agama tak lagi penting. bicara harga diri bangsa, harga diri sendiri saja raja tak punya.
itulah cerita pilu negeri angin. ckckc


12 December 2012 | 09:19

Kamis, 06 Desember 2012

Garuda Perkasa

Yups, saya hadir lagi menulis. Bukannya terhenyak karena kekalahan Sabtu lalu, namun ramainya tulisan yang masuk kompasiana membuat saya berpikir untuk bicara belakangan saja.
Setelah lalu lintas merenggang, mungkin lebih bermakna me-review hasil terakhir yang cukup membuat hati gundah.
Timnasku kalah dan akhirnya gagal melaju. Para penghujat pun punya kans untuk berujar. Tapi kali ini saya rasa timnas tarkamku telah memberi sebuah pukulan dari ketakberdayaannya di ajang AFF.
Tak lolos, bukankah memang itu yang diharapkan pembenci timnasku. Menahan para bintang kan tujuannya untuk itu. Label tarkam sudah dianugerahkan jauh hari sebelumnya. Jadi, buat saya sebuah tim tarkam bermaterikan pemain non bintang namun bisa bersaing dengan timnas Malaysia, Singapura, dan Laos adalah prestasi.
Bagaimanapun hati ini sempat naik turun dibuat timnasku itu. Imbang lawan Laos adalah suatu keniscayaan dari kata “kualitas tarkam” yang memamng sudah disematkan. Namun kemenagan atas Singapura memberi pukulan telak bahwa anak-anak IPL plus itu masih punya asa dan daya. Selama ini toh Singapura adalah sebuah tembok besar timnas. Terakhir, kalah 0-2 lawan Malaysia. Apa daya, timnas era emas Riedl saja diempas 0-3 dua tahun lalu.
Singkatnya, Garuda Tarkamku tetap perkasa. Kalian boleh bersenang-senang mengejek, namun hati seorang pencinta timnas yang sudah berkarat ini seolah dilumasi minyak yang menyegarka untuk sesaat. Timnasku memang dihancurkan, tapi ini timnasku yang terbaik dalam keterbatasan.
NB: Salut sama insan persepakbolaan asli yang tak menghujat (seperti pemain-pemain ISL yang tak ikut serta namun memberi dukungan) selama guliran AFF kemarin berjalan, kecuali Bendol tentunya….

07 December 2012 | 08:34