Dunia saat itu dikejutkan dengan berita kalau Kamen Rider
original akan dibuat remake-nya. Seperti impian menjadi kenyataan untuk melihat
kembali Hongo Takeshi dan Ichimonji Hayato beraksi kembali memberantas tirani
dan ancaman dari organisasi rahasia bernama Shocker. Tetapi setelah dirilis,
alangkah mengecewakannya movie yang satu ini. Entah kenapa movie ini sepertinya
setengah-setengah dalam memperlihatkan apa yang dimilikinya.
Adegan pembukanya sangat menarik, mengingatkan kita pada
ulah Shocker yang persis seperti TV series-nya di tahun 1971. Monster laba-laba
(atau orang bertopeng laba-laba?) menjebak mangsanya dalam mobil dengan jaring
mautnya. Untuk yang satu ini seolah-olah penonton akan dibawa oleh alur cerita
yang twisted dan kelam, jauh dari nuansa yang sama seperti TV series-nya.
Selanjutnya memang sedikit absurd, sepertinya film ini sudah
ketahuan alur ceritanya bakal berbau romantisme yang sayangnya terlalu
berlebihan, dan secara keseluruhan itu sangat merusak kekuatan film ini.
Memang, film ini menawarkan suasana yang kelam, jauh dari nuansa ceria. Tetapi
suasana kelam ini terlihat janggal sekali bila menyimak lebih jauh kisah
percintaan segitiga antara Asuka, Honggo, dan Hayato yang malah terlihat
kekanak-kanakan. Parahnya, justru kisah percintaan ini merusak pencitraan
karakter asli dari seorang Honggo dan Hayato. Bagaimana mungkin mereka berdua
mau saja bertarung demi wanita. Honggo Takeshi yang aslinya sangat berwibawa
dan bertarung melawan Shocker demi membela kebenaran, dirubah menjadi pria
minder yang tidak punya arah mau bagaimana. Ichimonji Hayato-pun bernasib sama,
malah lebih parah lagi, tukang gombal amatiran yang berpikiran sempit demi
wanita. Apalagi karakter Asuka, sebegitu rendahkah posisi wanita sebagai sumber
malapetaka bagi mereka berdua? Dalam sudut pandang feminis, hal seperti ini
pastilah dicerca habis-habisan.
Baik Honggo maupun Hayato selalu saja bernasib sial, selalu
bertarung satu sama lain, menjadi naif, semua disebabkan oleh Asuka. Wanita
yang kelihatannya punya pendirian kuat, justru lemah dan membingungkan. Yang
lucu, setiap dikejar monster pasti kena hantam ke tanah dan pingsan terus. Lalu
mudah saja jatuh cinta pada Rider yang tidak jelas entah datang dari mana,
ekspresinya terlalu datar saat mengetahui kalau Rider yang dicintainya itu
adalah Honggo Takeshi yang dituduhnya membunuh tunangannya, Katsuhiko. Heran
sekali, karena wanita ini membuat Rider siap mati demi dia tetapi tidak lagi
peduli dengan 'melindungi umat manusia'. Karena wanita ini, Rider jadi kehilangan
arah tujuan sebagai 'Champion of Justice'. Rider di film ini menjadi Rider yang
posesif dan melupakan jati dirinya sebagai harapan manusia melawan tirani.
Singkatnya, Rider bertarung demi wanita, bukan demi umat manusia.
Pun dari segi alur cerita secara keseluruhan, terutama untuk
penggemar Kamen Rider sendiri, patut dipertanyakan kepada pembuat skenario
perihal keaslian ataupun keoriginalitasan cerita yang sebelumnya sudah apik
dalam TV series-nya. Kenapa struktur yang sudah ada diputar balikkan menjadi
sesuatu yang benar-benar kacau? Contoh kasarnya saat Honggo sadar pada dirinya
ketika salju turun, yang mengingatkannya pada penelitiannya. Untuk ukuran
logika, adegan ini sangat aneh dan terlihat tergesa-gesa. Kadang adegan-adegan
dalam film tersebut terkesan berjalan lamban (seperti plot dua pasien rumah
sakit yang nantinya direkrut menjadi anggota Shocker), kadang malah terlalu
cepat (seperti adegan pertarungan terakhir di markas Shocker yang kelihatan
mengejar durasi).
Yang cukup menganggu dalam film ini juga adalah masalah
setting. Sepertinya film ini sangat gagal menjelaskan dimana posisi setting
cerita yang sebenarnya. Entah salah lokasi, kostum, atau para pemeran itu
sendiri. Kadang diperlihatkan nuansa era '70-an lewat pakaian yang sering
dikenakan oleh Hayato. Namun nuansa tadi hilang justru oleh wajah Hassei Takano
yang sangat ke-2000-an. Wajah-wajah pemeran film ini tidak cocok untuk film
yang ingin memperlihatkan nuansa '70-an tersebut. Mungkin yang paling timpang
sekali saat diperlihatkan ketiga petinggi Shocker, dimana diperlihatkan tipikal
bosa Shocker yang asli ditengah yang bernuansa '70-an itu justru diapit oleh
cowok dan cewek yang mewakili manusia-manusia era hip-hop dan gothic generasi
2000. Penonton yang awas dengan masalah setting ini, mungkin akan
bertanya-tanya perihal ketidak-konstanan film. Kenapa bila ingin mempertahankan
nuansa '70-an tadi yang persis seperti TV series yang diperlihatkan justru
kostum Rider dan Shocker yang sangat modern, sementara pola ceritanya bertolak
belakang dengan itu.
Bagi fans berat Kamen Rider, kesalahan fatal yang paling
diprotes tentu saja masalah henshin pose yang (terpaksa) ditiadakan demi
masalah logika. Fans hanya diperlihatkan pose tersebut saat dua Rider tersebut
terkepung dan siap meladeni kroco-kroco Shocker yang kali ini terlihat lebih
aneh dibandingkan aslinya di TV series. Dihilangkannya henshin pose ini justru
dijawab dengan cara berubah yang sangat 'old-school' tetapi membuat fans Kamen
Rider balik bertanya lagi, "untuk apa dihilangkan?" Entah darimana
datangnya topeng (atau helm?) dan penutup mulut yang dipakai bila sabuk Rider
diaktifkan. Cara berubah Rider di film ini memang masih wajar, tetapi jauh
lebih mengecewakan. Henshin Kamen Rider X masih lebih baik dari yang ini. Toh
seharusnya henshin pose harus tetap diperlihatkan, biarpun harus minimalis (ala
Inui Takumi saat henshin jadi Faiz), karena bagaimanapun juga henshin pose
merupakan 'signature move' wajib yang ironisnya diperkenalkan pertama kali oleh
Ichimonji Hayato di TV series. Tidak akan menjadi masalah serius seandainya
henshin pose tetap ada meskipun sedikit dirombak bila tetap ingin
mempertahankan unsur rasionalitas dan logika dalam film ini.
Organisasi Shocker mungkin bernasib sial dalam film ini.
Organisasi yang sangat hebat menjaga kerahasiaannya dan sangat kejam sepertinya
kehilangan tujuan dalam film ini. Shocker yang aslinya ingin menguasai dunia
dengan segala cara, dalam film ini 'hanya' bertujuan untuk menghancurkan
keindahan. Memang unsur simbolisme mengenai ini sangat bagus, dimana
'keindahan' ini disimbolisasikan lewat 'inochi' (kehidupan manusia), dan setiap
akan membunuh mangsanya, monster selalu membawa bunga yang mewakili keindahan
tadi. Tapi sayangnya, Shocker jadi kehilangan keganasannya yang padahal sudah
sangat bagus diperlihatkan di awal cerita.
Berbicara masalah aksi, lain lagi ceritanya. Acungan jempol
pantas diberikan pada film ini. Sangat menjunjung nama 'Rider', terutama saat
bertarung diatas motor. Setiap adegan pertarungan dibuat dengan tidak percuma,
malah sangat bagus. Memang seperti ini Kamen Rider seharusnya bertarung. Tapi
yang cukup mengganggu sekali ada pada pertarungan terakhirnya. Bagi fans
tokusatsu yang jeli, koreografi pertarungannya 'sangat mirip' dengan Power
Rangers, lengkap dengan unsur terbang gerak lambat ala Matrix yang sudah sangat
jamak dipakai di berbagai film action. Hal tersebut tidak menjadi masalah
karena style pertarungan seperti ini memang seharusnya ada. Bukankah tidak ada
yang benar-benar orisinal, semuanya pasti berhubungan dengan masalah
intertekstualitas. Hanya saja yang cukup disayangkan lagi, adegan pertarungan
terakhir yang bagus itu terlihat tergesa-gesa, seperti yang sudah disinggung
sebelumnya, mungkin mengejar durasi barangkali.
Yang menjadi daya tarik utama film ini pastilah desain
kostumnya yang sangat keren dan terkesan realistis. Siapapun pasti akan setuju
dengan desain ini, meskipun leher manusia tidak ditutupi demi mempertahankan
tema 'Kamen'.
Yang patut dipuji juga (atau mungkin dicela barangkali)
adalah mengenai tema 'Kamen' yang benar-benar mengusung 'ketopengan' dan
menjadi salah satu aspek utama yang ditonjolkan oleh film ini. Baik Rider
maupun Kaijin-nya hanya perlu memasang topeng untuk menguatkan tema ini. Memang
akibat tema 'Kamen' ini, henshin pose terpaksa dikorbankan.
Akting para pemerannya tidak terlalu menonjol, cenderung
menuruti skenario dengan tampilan emosi yang apa adanya. Mengusung wajah-wajah
ganteng era 2000-an, kelihatan kalau segmentasi film ini bukan pada penggemar
veteran Kamen Rider. Apalagi semua itu terbukti dengan betapa tidak pentingnya
karakter Tachibana Tobei yang hadir kurang dari 5 menit (padahal diperankan
oleh Hiroshi Miyauchi, sang aktor tokusatsu legendaris).
Fans Kamen Rider boleh jadi kecewa berat dengan
karakterisasi, alur cerita, setting, maupun tema yang semuanya terlihat
berantakan dimana-mana dalam film ini. Unsur-unsur fiksi yang sangat penting
ini benar-benar diabaikan sekali. Karena itulah film ini dianggap
setengah-setengah dalam menyampaikan maksudnya. Kisah cinta yang terlalu
berlebihan dan merusak struktur orisinil Kamen Rider boleh jadi menjadi
penyebab utama mengapa film ini sangat mengecewakan. Kalaupun ingin membentuk
perspektif baru dalam tokusatsu, mengapa 'duo phenomenon' Kamen Rider Ichigo
dan Nigo menjadi korban? Alangkah bagusnya apabila dibuat Kamen Rider
tersendiri, lepas dari unsur original Kamen Rider. Fans akan menuntut apabila
sebuah film dikait-kaitkan dengan sesuatu yang sudah pernah eksis dahulunya,
sebagai bentuk penghormatan ataupun penghargaan. Bukankah mereka bisa belajar
dari Ultraman Tiga yang lepas dari unsur Ultraman original, tapi kisah cintanya
antara Daigo dan Rena tetap menarik sampai-sampai dibuat ending khusus lewat
movie The Final Odyssey.
Sebagai hiburan, film ini sudah cukup baik. Hanya saja
ketidak-konsistenannya membuat film ini menjadi berantakan dan mengecewakan
bagi fans tokusatsu yang benar-benar mengharapkan aksi sesungguhnya dari Honggo
Takeshi dan Ichimonji Hayato yang bertarung demi keadilan dan memberantas
tirani Shocker tanpa harus dilihat dari perspektif naif dan sempit.
(Note: Review ini diambil berdasarkan pertimbangan film
secara keseluruhan, bukan melalui aspek lainnya seperti manga yang memang
menjadi sumber utama film ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar