oke,
saya bukan kader partai manapun.. dulu di masa kecil saya memang pernah
ikutan kampanye pdi sekitar pemilu awal 90-an deh. waktu itu partainya
cuma 3, dan saya sadar hanya jadi penggembira karena masih duduk di
bangku sd. saya ingat pemilu sebelum itu lagi..-mungkin saya masih tk-,
saya dibingungkan obrolan orangtua saya yang pulang pemili: tadi nusuk
banteng, beringin, apa bintang? aneh buat saya makna kalimat tanya itu
dengan memikirkan makna harfiahnya di masa kanak-kanak.
kembali ke kampanye pertama yang saya ikuti itu, seru sekali waktu itu walau cuma memerahkan jakarta konvoi naik mobil bapa saya keliling jakarta.
di pemilu terakhir orde baru keluarga saya tak antusias berkampanye, toh saya belum 17.
pemilu pertama era reformasi adalah keikutsertaan saya yang penuh harap di perpolitikan negeri ini. saya ingat dengan motor astrea bodong teman, kami berkampanye keliling jakarta, ikut pemilu, dan bersemangat dalam penghitungan suara partainya ibu mega.
pdi-p menang, namun mereka kalah di parlemen dalam pilpres. sontak tak ada lagi kenyamanan diri memikirkan politik negeri ini yang ternyata penuh kepentingan dan intrik. biasa memang, dalam bacaan keseharian itupun biasa, karenanya saya jadi apatis.
tak peduli bu mega mengganti gus dur, pemilu 2004 saya jalani cuma formalitas, tak kampanye, tak berharap.
pun di 2009 saya merelakan suara saya tuk kawan sma saya yang nyaleg semata karena dia kawan saya, walau partainya tak mungkin menang...
kini saya tak ikut kampanye, tak juga kader partai tertentu, namun saya punya harapan lewat pak kerempeng satu itu.
jokowi, kenapa dia memberi harap? karena citranya asli dan tak di-setting. saya pernah main teater dan sedikit belajar karakter, dan jelas: si joko dari solo itu bukan pengejar citra yang mau kuasai negara. si jenong itu punya niat baik dan tak bisa disetir siapa pun. dia berani, namun tak langsung menghujat lawannya. dia menjawab dengan kerja kala dihina, tak melawan kala dicerca, tak mengangkat diri kala bicara.
kali ini saya semangat di pemilu.
lanjut lagi. saya hendak mengajak pembaca catatan saya berpikir dan semoga terpengaruh. kenapa? karena tanpa publikasi gurat ini, suara saya sendiri mungkin tak berarti. jadi coba pikirkan kawan, apakah kita akan menyerahkan masa depan negeri ini pada pencari kuasa yang sudah jelas ambisinya sejak lama? apa kita akan memberi dukungan kita untuk mereka yang dekat dengan kita (caleg saudara, rekan, atau atasan) sementara ada sosok baik yang memerlukan dukungan? yah. banyak mungkin yang akan menyerang si joko van surakarta ini dengan buas. saya ingat dulu kala pilgub, serang pemred yang saya kenal berujar keras-keras di sisi saya menghina kebodohan si kurus itu yang hanya lulusan lokal dibanding lulusan jerman yang jadi lawannya. tapi yang saya sadari melihat perkembangannya, lulusan lokal itu bersama koleganya telah membangun ibukota lebih nyata. cerca yang datang lebih banyak dari mereka yang tak berbuat apa-apa. saya membayangkan semaraknya bila dia memimpin negeri ini. tapi itu tentu tidak mudah. jalan si kerempeng itu tergambarkan di benak saya seperti sulitnya pssi diubah dulu. persis sama, lawan yang sudah tersistem akan mengadang bertubi-tubi. persis terlihat dimana serangan masuk di hari awal penyataan pencalonannya. tapi joko tentu tak seperti djohar yang tak punya kuantitas di luar kualitas. biarkan kampanye hitam berjalan, si kurus berkemeja putih itu tetap berjalan di lorong harap. kalau pada akhirnya dia tersandung atau kalah, setidaknya dia sudah mencoba. semangat, yah kali ini semangat ikut pemilu. partainya memang tak jadi magnet saya, namun sosok kurus itu yang akan menyemangati langkah ke tps kelak. seru juga yah kalau dia presiden, walau dia tak bisa bikin lagu... setidaknya dia tak mengeluh melulu... kalau pemimpin mengeluh melulu, rakyatnya mau mengeluh pada siapa?? semoga bangsaku yang cerdas memang benar-benar cerdas.
24 March 2014 at 08:46
kembali ke kampanye pertama yang saya ikuti itu, seru sekali waktu itu walau cuma memerahkan jakarta konvoi naik mobil bapa saya keliling jakarta.
di pemilu terakhir orde baru keluarga saya tak antusias berkampanye, toh saya belum 17.
pemilu pertama era reformasi adalah keikutsertaan saya yang penuh harap di perpolitikan negeri ini. saya ingat dengan motor astrea bodong teman, kami berkampanye keliling jakarta, ikut pemilu, dan bersemangat dalam penghitungan suara partainya ibu mega.
pdi-p menang, namun mereka kalah di parlemen dalam pilpres. sontak tak ada lagi kenyamanan diri memikirkan politik negeri ini yang ternyata penuh kepentingan dan intrik. biasa memang, dalam bacaan keseharian itupun biasa, karenanya saya jadi apatis.
tak peduli bu mega mengganti gus dur, pemilu 2004 saya jalani cuma formalitas, tak kampanye, tak berharap.
pun di 2009 saya merelakan suara saya tuk kawan sma saya yang nyaleg semata karena dia kawan saya, walau partainya tak mungkin menang...
kini saya tak ikut kampanye, tak juga kader partai tertentu, namun saya punya harapan lewat pak kerempeng satu itu.
jokowi, kenapa dia memberi harap? karena citranya asli dan tak di-setting. saya pernah main teater dan sedikit belajar karakter, dan jelas: si joko dari solo itu bukan pengejar citra yang mau kuasai negara. si jenong itu punya niat baik dan tak bisa disetir siapa pun. dia berani, namun tak langsung menghujat lawannya. dia menjawab dengan kerja kala dihina, tak melawan kala dicerca, tak mengangkat diri kala bicara.
kali ini saya semangat di pemilu.
lanjut lagi. saya hendak mengajak pembaca catatan saya berpikir dan semoga terpengaruh. kenapa? karena tanpa publikasi gurat ini, suara saya sendiri mungkin tak berarti. jadi coba pikirkan kawan, apakah kita akan menyerahkan masa depan negeri ini pada pencari kuasa yang sudah jelas ambisinya sejak lama? apa kita akan memberi dukungan kita untuk mereka yang dekat dengan kita (caleg saudara, rekan, atau atasan) sementara ada sosok baik yang memerlukan dukungan? yah. banyak mungkin yang akan menyerang si joko van surakarta ini dengan buas. saya ingat dulu kala pilgub, serang pemred yang saya kenal berujar keras-keras di sisi saya menghina kebodohan si kurus itu yang hanya lulusan lokal dibanding lulusan jerman yang jadi lawannya. tapi yang saya sadari melihat perkembangannya, lulusan lokal itu bersama koleganya telah membangun ibukota lebih nyata. cerca yang datang lebih banyak dari mereka yang tak berbuat apa-apa. saya membayangkan semaraknya bila dia memimpin negeri ini. tapi itu tentu tidak mudah. jalan si kerempeng itu tergambarkan di benak saya seperti sulitnya pssi diubah dulu. persis sama, lawan yang sudah tersistem akan mengadang bertubi-tubi. persis terlihat dimana serangan masuk di hari awal penyataan pencalonannya. tapi joko tentu tak seperti djohar yang tak punya kuantitas di luar kualitas. biarkan kampanye hitam berjalan, si kurus berkemeja putih itu tetap berjalan di lorong harap. kalau pada akhirnya dia tersandung atau kalah, setidaknya dia sudah mencoba. semangat, yah kali ini semangat ikut pemilu. partainya memang tak jadi magnet saya, namun sosok kurus itu yang akan menyemangati langkah ke tps kelak. seru juga yah kalau dia presiden, walau dia tak bisa bikin lagu... setidaknya dia tak mengeluh melulu... kalau pemimpin mengeluh melulu, rakyatnya mau mengeluh pada siapa?? semoga bangsaku yang cerdas memang benar-benar cerdas.
24 March 2014 at 08:46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar