tersebutlah sebuah bangsa yang punya sebuah ajang pesta rakyat
bernama “balbalan”. di ajang ini seolah semua warga bisa menumpahkan
masalah hidup sejenak. pelbagai tantangan hidup sehari-hari seakan bisa
diredam kala balbalan digelar di lapangan terdekat.
awalnya memang sederhana, namun karena memang mewabah ke seluruh bangsa maka banyak pihak yang mulai mengambil keuntungan di ajang ini. kala awalnya jalan berkompetisi mengeruk industri balbalan memang berjalan dalam seleksi alam. namun lama-kelamaan mulai muncul kartel-kartel untuk bersama menguasai ajang ini supaya tak ribut-ribut.
pada akhirnya ajang balbalan yang bak aksi gladiator di negeri nun jauh di mata warga jadi lebih mirip sandiwara yang dipentaskan. atur skor, atur juara, atur sana-sini, akhirnya jenuh orang melihatnya. jangankan untuk aksi balbalan dalam negeri, untuk aksi melawan luar negeri juga laga nekat dijual kartel. di dalam negeri pemain, klub, pelatih, atau pengurus harus sedia bayar upeti. kala ada permasalahan, hukuman diatur kartel membela yang bayar paling besar. akhirnya kartel berubah jadi mafia. dan dari menguasai ajang balbalan, mafia berupaya tuk maju setingkat tuk menguasai seluruh negeri.
tapi akhirnya muncul usaha melawan. tak dari golongan jelata, kartel lain juga yang maju. akhirnya dengan jalan kongres, kartel baru sukses menggantikan mafia yang dibenci warga atas tingkah polah selama ini.
kartel baru pun jalankan roda baru. tapi sayang, kartel baru tak terlalu paham sepak terjang mafia selama ini. alih-alih membersihkan ajang, usaha mereka malah menyinggung para pemegang kuasa yang tak lagi kebagian jatah pemuas dahaga sebagaimana aksi mafia sebelumnya.
akhirnya kartel baru pun dipersalahkan atas ketakdaulatannya. para pemegang kuasa kembali menyembah pada mafia. mafia bermain cantik dengan mengganti wajah lewat operasi plastik.
era baru pun berlangsung. dengan wajah baru balbalan negeri dimulai lagi. walau hati, otak, dan kelakuan tetap mafia bangsa itu larut dalam lupa. seolah ada yang baru kini, padahal merana….
awalnya memang sederhana, namun karena memang mewabah ke seluruh bangsa maka banyak pihak yang mulai mengambil keuntungan di ajang ini. kala awalnya jalan berkompetisi mengeruk industri balbalan memang berjalan dalam seleksi alam. namun lama-kelamaan mulai muncul kartel-kartel untuk bersama menguasai ajang ini supaya tak ribut-ribut.
pada akhirnya ajang balbalan yang bak aksi gladiator di negeri nun jauh di mata warga jadi lebih mirip sandiwara yang dipentaskan. atur skor, atur juara, atur sana-sini, akhirnya jenuh orang melihatnya. jangankan untuk aksi balbalan dalam negeri, untuk aksi melawan luar negeri juga laga nekat dijual kartel. di dalam negeri pemain, klub, pelatih, atau pengurus harus sedia bayar upeti. kala ada permasalahan, hukuman diatur kartel membela yang bayar paling besar. akhirnya kartel berubah jadi mafia. dan dari menguasai ajang balbalan, mafia berupaya tuk maju setingkat tuk menguasai seluruh negeri.
tapi akhirnya muncul usaha melawan. tak dari golongan jelata, kartel lain juga yang maju. akhirnya dengan jalan kongres, kartel baru sukses menggantikan mafia yang dibenci warga atas tingkah polah selama ini.
kartel baru pun jalankan roda baru. tapi sayang, kartel baru tak terlalu paham sepak terjang mafia selama ini. alih-alih membersihkan ajang, usaha mereka malah menyinggung para pemegang kuasa yang tak lagi kebagian jatah pemuas dahaga sebagaimana aksi mafia sebelumnya.
akhirnya kartel baru pun dipersalahkan atas ketakdaulatannya. para pemegang kuasa kembali menyembah pada mafia. mafia bermain cantik dengan mengganti wajah lewat operasi plastik.
era baru pun berlangsung. dengan wajah baru balbalan negeri dimulai lagi. walau hati, otak, dan kelakuan tetap mafia bangsa itu larut dalam lupa. seolah ada yang baru kini, padahal merana….
22 June 2013 | 13:33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar