Sengaja saya ulas lagi. Sayang terlewat begitu saja….
Hahahaha…. Saya jadi bingung sama diri saya
sendiri. Belasan tahun mendukung timnas, baru semalam lagi saya
menikmati timnas kalah. Menikmati? Yah, menikmati.
Anda boleh bilang saya punya kadar nasionalisme
yang rendah. Tapi nanti dulu…. Justru karena kebesaran nasionalisme saya
maka saya justru senang dengan pencapaian The Real Garuda yang rontok
tok tok semalam.
Mungkin terakhir kali saya tersenyum senang pada
saat timnas kalah adalah saat Mursyid Effendi mencetak gol ke gawang
sendiri di Vietnam, di Piala Tiger jilid dua tahun 1998 kalau tak salah.
Kenapa senang, karena memang yang terpikir itulah satu-satunya jalan
yang akan melanggengkan Garuda saat itu jadi juara. Terbukti kan
Thailand juga disingkirkan Vietnam di semifinal. Kalau bicara
sportivitas memang lain cerita, tapi bicara demi kebesaran bangsa (dalam
imaji seorang remaja kala itu) rasanya Mursyid gak salah. Siapapun
yang mengerti hitung-hitungan dalam system round robin tournament pasti
tergoda dengan jalan itu.
Lupakan tragedy 15
tahun lalu itu. Kini 2013. PSSI baru saja diambil alih oleh
tangan-tangan jahat. Kalau ada yang beropini telah terjadi perdamaian di
PSSI, kemungkinannya Cuma dua: tak tahu masalah atau pura-pura bodoh.
Tiba-tiba saja Djohar melunak. Dimulai dengan BTN yang tak diamini
eksko yang eksis, kemudian muncul timnas versi Blanco yang
diagung-agungkan KPSI. Setelah BTN klick dengan KPSI, perlahan BTN
digembosi (lihat Habil yang jadi seperti badut kala Blanco dikerjai
anak-anak dan lalu bapak-bapak ISL), kemudianm timnas pun dikuasai
secara penuh oleh para mafia. Jadi, kala timnas berdarah mafia maju
atas nama bangsa, apakah saya yang cinta mati dengan timnas akan bangga
mendukung? Saya rasa saya yang mulai bijak akan bilang: nanti dulu.
——
Okeh, saya akan
merunut ke belakang. Ingat dengan masa adanya IPL pertama. Kenapa bisa
ada liga itu? Semua yang sudah nonton bola saat itu juga tahu kalau liga
itu untuk menggulingkan mafia yang sudah memuakkan negeri ini. Kalau
kata pembencinya itu klub kloningan, bukankah pada awalnya juga klub di
IPL adalah implementasi klub ISL yang bermain dua kaki. Saya ingat
seorang Jakmania yang saya kenal pernah menceritakan bahwa klub Jakarta
yang ini dan itu di IPL jilid satu kala itu adalah representasi Persija
dan Persitara, lalu klub Medan yang ini dan itu adalah jelmaan PSMS,
dll. Singkat kata, IPL pada awalnya adalah harapan kita semua untuk
menggulingkan mafia saat itu. Kalau ada yang bilang salah, pasti dia
memang belum mengerti bola saat itu. Yang namanya Andika tolol di
Kompasiana semoga ngerti ketololannya.
Akhirnya perlawanan
itu berhasil. Lalu… blablabla…. Kita semua tahu hingga pecan lalu
akhirnya mafia menguasai PSSI lagi. Merujuk pada masa emas akhir era
mafia 2004-2011, maka senjata pamungkas yang dimiliki mafia adalah
timnas yang mentereng. Sebuah timnas yang memesonakan banyak mata
pencinta bola baru di AFF Suzuki Cup 2010. Saya memang senang karena di
era itu saya tak jadi minoritas di kantor yang peduli pada aksi timnas.
Sebelum itu, kala timnas main di TV kala jam kantor (karena kerja di
sebuah surat kabar maka jam kantor adalah sore hingga tengah malam) tak
banyak yang peduli dengan timnas di kantor saya (saya yakin jiwa orang
di kantor saya adalah representasi bangsa ini di dunia nyata, semacam
populasi quick count gitu). Akhirnya, hingga final aksi timnas jadi
tontonan yang ramai di hadapan saya. Tak jauh dari antusiasme di kantor,
di infotainment pun timnas jadi komoditas.
Tapi sayang, banyak
pencinta timnas kita yang baru tak mengerti akan kualitas lawan kita di
sana. Disangkanya menang atas Malaysia-Filipina-Thailand punya arti
kita sudah masuk level utama persepakbolaan dunia. Maka kala Rijsbergen
menggantikan Riedl dan kita kalah beruntun di Pra Piala Dunia Brasil
2014 para supporter kurang paham ini menyalahkan sang pelatih dan
menganggap timnas kita telah alami kemunduran.
Padahal, timnas kita
kala itu sudah masuk ke fase grup. Di Pra Piala Dunia Afsel 2010 bahkan
kita gagal mengalahkan Suriah di fase sebelum grup (penyisihan awal).
Lolos dari adangan Turkmenistan adalah hal hebat. Itu kemajuan bro.
Kalau kemudian kita kalah dari Usbekistan dan Bahrain, itu karena
kualitas kita memang belum beranjak banyak. Progres kita baru mulai. Itu
Negara yang jadi lawan kalau ikut AFF Cup pasti bias juara semua bray.
Pelan-pelan saja…. Tapi kemudian timnas kita direndahkan dan dihina
dengan skor 0-10. Astaga, kalau kalian berpikir jernih, itu bukan karena
timnas begitu tolol. Banyak factor bung. Pertama, kita tak full tim
seperti era kualifikasi lawan Turkmenistan. Kedua, motivasi sudah
melorot karena tak ada peluang. Terakhir: apa kalian tak lihat ada
permainan di sana (bahkan di Liga Inggris aka BPL saja tim yang kipernya
sudah kartu merah diawal tak akan pernah dihukum dengan 5 penalti lagi
walau ada pelanggaran, apalagi Cuma sekadar diving.).
Tentang PSSI-KPSI,
agaknya saya mau ingatkan lagi tentang kisah Salomo (Sulaiman) dan dua
ibu. Ingat cerita kala Salomo bilang pada dua ibu yang merebutkan satu
bayi untuk dipotong dua saja itu bayi? Apa yang dilakukan ibu bayi yang
sesungguhnya? Dia relakan bayinya diambil ibu palsu daripada bayi itu
mati walau dia dapat separuhnya. Nampak-nampaknya Djohar dkk sudah jadi
ibu yang benar di KLB lalu. Betapapun kalian katakana KPSI menang dan
PSSI kalah, Djohar dkk sudah menjauhkan PSSI dari sangsi FIFA. Mungkin
ini arti kata-kata Djohar: Demi Merah Putih. Kalau saja mereka ngotot
dan siding deadlock (kalau tak ada yang walkout), semalam Arab sudah
dapat tiga poin WO karena diskualifikasi kita. Terserah Andika sinting
di Kompasiana mau bilang apa.
Dan ini endingnya.
Walau terkesan Djohar jalan sendiri dan meninggalkan kawan-kawannya,
anda akan tahu Djohar tak jadi kutu loncat. Dia hanya menunggu
pelengseran saja dan membiarkan dirinnya esok diganti karena ini saat
yang tepat. Tepat? Yah, karena KPSI yang sudah menang membuat blunder
dengan masih menggunakan senjata pamungkasnya untuk membantai.
Sebenarnya tak perlu lagi. Mereka sudah berkuasa di PSSI, namun
ketamakan mereka jadi blunder.
Senjata itu adalah
timnas. Dan semalam timnas itu dipasang sebagai kembang api di pesta
kemenangan KPSI atas PSSI niatnya. Tapi, KPSI lupa. Timnas kita di level
Asia dalam empat partai ke depan. Lawan yang menanti adalah Cina,
Arab, dan Irak. Untuk beberapa bulan ke depan tak ada unjuk gigi di
hadapan Negara semenjana region Asia Tenggara. Mereka mengangkat
gembar-gembor kehebatan timnas asal ISL di laga semalam. Bahkan demi
mengira akan hasil bagus, tak satupun putra IPL di masukkan agar Cuma
darah murni ISL yang unjuk gigi. Tapi apa, timnas yang katanya berjiwa
laki bukan pengecut itu tak lebih baik dari timnas yang sukses menahan
Irak di UEA Januari lalu.
Melawan tim bertaktik
lambat saja timnas yang pemainnya penuh bintang dan malas latihan ini
(bahkan pelatihnya bisa disingkirkan ibarat murid borju di sekolah kaya
yang bisa mendikte gurunya) kelimpungan di kandang sendiri. Kelimpungan
saat uang mereka tinggal cek ATM saja dan diduking 75 ribu orang yang
salah satunya adik saya sendiri di Senayan. Saya jadi merasa bangga
pada timnas sebelumnya yang bias dapat hasil serupa (kalah satu gol) di
negeri orang, tanpa dukungan bintang-bintang, pelatihnya level kampong
(katanya liganya level kampong), dana dari menpora tak juntrung jelas
keluarnya, hotel pemain pindah-pindah karena berutang, fisoterapisnya
koar-koar tak digaji, dan hanya dapat doa dari oaring-orang seperti saya
yang 100 persen cinta timnas walau beda apresiasi semalam.
Djohar akan
disingkirkan tak lama lagi. Eksko yang keluar juga tak punya uang tuk
memutar liga tandingan baru. Tapi perlahan timnas jeger yang penuh
bintang tanpa mau proses dan latihan dan didukung banyak orang itu akan
ditinggalkan supporter karbitan. Kemarin malam rame kok? Astaga, apa
bakal rame di home match kedua timnas kalau tak ada peluang lagi di
grup. Lalu matchday home terakhir yang pastinya sudah tertutup peluang
alias masuk kotak apa bakal merah tuh GBK?
Tahun depan AFF Cup
baru ada lagi. Tapi jelas akhir 2014 kala AFF digelar pemilu sudah
kelar. Kalau sudah terang ada yang kalah, apa masih perlu eksploitasi
timnas? Kala digelar di luar negeri apa bias kita juara? Filipina,
Myanmar, dan Laos saja berbenah dan sungguh berlatih dan berproses,
apalagi Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand yang haus juara dan
tangguh. Kala timnas kalah lagi diproses kita yang harapkan jalan instan
ini maka semua akan kabur. Kala ini terjadi Djohar dkk akan dikenang
sebagai para reformis bola mafia negeri ini yang telah mencoba namun
gagal, sepertinya dia pahlawan deh. Dan timnas akan benar-benar
ditinggalkan para supporter yang haus prestasi. Maka tinggallah
orang-orang seperti saya, yang tetap jadi pencinta timnas walau kalah
melulu sekalipun asal ada dan berusaha di jalan yang bukan jalan mafia.
Maafkan aku Garuda
kala membiarkanmu dikuasai orang yang tak seharusnya. Bukannya benci
kalau kuingin kau kalah melulu saat ini. Aku ingin penguasamu kini
meninggalkanmu karena kau impoten pikirnya. Dan saat kelak kau jatuh
tersungkur dan tak dipedulikan orang, aku dan orang-orang sepertiku akan
jadi orang-orang pertama yang mendukungmu bertanding walau dalam
stadion yang senyap. Garudaku…. Aku cinta, tapi tidak saat ini…..
www.qodoq2000.blogspot.com
25 March 2013 | 12:15