Minggu, 24 Maret 2013

Mafia dan Cinta Garuda

Sengaja saya ulas lagi. Sayang terlewat begitu saja….
Hahahaha…. Saya jadi bingung sama diri saya sendiri. Belasan tahun mendukung timnas, baru semalam lagi saya menikmati timnas kalah. Menikmati? Yah, menikmati.
Anda boleh bilang saya punya kadar nasionalisme yang rendah. Tapi nanti dulu…. Justru karena kebesaran nasionalisme saya maka saya justru senang dengan pencapaian The Real Garuda yang rontok tok tok semalam.
Mungkin terakhir kali saya tersenyum senang pada saat timnas kalah adalah saat Mursyid Effendi mencetak gol ke gawang sendiri di Vietnam, di Piala Tiger jilid dua tahun 1998 kalau tak salah. Kenapa senang, karena memang yang terpikir itulah satu-satunya jalan yang akan melanggengkan Garuda saat itu jadi juara. Terbukti kan Thailand juga disingkirkan Vietnam di semifinal. Kalau bicara sportivitas memang lain cerita, tapi bicara demi kebesaran bangsa (dalam imaji seorang remaja kala itu) rasanya Mursyid gak salah. Siapapun yang mengerti hitung-hitungan dalam system round robin tournament pasti tergoda dengan jalan itu.
Lupakan tragedy 15 tahun lalu itu. Kini 2013. PSSI baru saja diambil alih oleh tangan-tangan jahat. Kalau ada yang beropini telah terjadi perdamaian di PSSI, kemungkinannya Cuma dua: tak tahu masalah atau pura-pura bodoh. Tiba-tiba saja Djohar melunak. Dimulai dengan BTN yang tak diamini eksko yang eksis, kemudian muncul timnas versi Blanco yang diagung-agungkan KPSI. Setelah BTN klick dengan KPSI, perlahan BTN digembosi (lihat Habil yang jadi seperti badut kala Blanco dikerjai anak-anak dan lalu bapak-bapak ISL), kemudianm timnas pun dikuasai secara penuh oleh para mafia. Jadi, kala timnas berdarah mafia maju atas nama bangsa, apakah saya yang cinta mati dengan timnas akan bangga mendukung? Saya rasa saya yang mulai bijak akan bilang: nanti dulu.
——
Okeh, saya akan merunut ke belakang. Ingat dengan masa adanya IPL pertama. Kenapa bisa ada liga itu? Semua yang sudah nonton bola saat itu juga tahu kalau liga itu untuk menggulingkan mafia yang sudah memuakkan negeri ini. Kalau kata pembencinya itu klub kloningan, bukankah pada awalnya juga klub di IPL adalah implementasi klub ISL yang bermain dua kaki. Saya ingat seorang Jakmania yang saya kenal pernah menceritakan bahwa klub Jakarta yang ini dan itu di IPL jilid satu kala itu adalah representasi Persija dan Persitara, lalu klub Medan yang ini dan itu adalah jelmaan PSMS, dll. Singkat kata, IPL pada awalnya adalah harapan kita semua untuk menggulingkan mafia saat itu. Kalau ada yang bilang salah, pasti dia memang belum mengerti bola saat itu. Yang namanya Andika tolol di Kompasiana semoga ngerti ketololannya.
Akhirnya perlawanan itu berhasil. Lalu… blablabla…. Kita semua tahu hingga pecan lalu akhirnya mafia menguasai PSSI lagi. Merujuk pada masa emas akhir era mafia 2004-2011, maka senjata pamungkas yang dimiliki mafia adalah timnas yang mentereng. Sebuah timnas yang memesonakan banyak mata pencinta bola baru di AFF Suzuki Cup 2010. Saya memang senang karena di era itu saya tak jadi minoritas di kantor yang peduli pada aksi timnas. Sebelum itu, kala timnas main di TV kala jam kantor (karena kerja di sebuah surat kabar maka jam kantor adalah sore hingga tengah malam) tak banyak yang peduli dengan timnas di kantor saya (saya yakin jiwa orang di kantor saya adalah representasi bangsa ini di dunia nyata, semacam populasi quick count gitu). Akhirnya, hingga final aksi timnas jadi tontonan yang ramai di hadapan saya. Tak jauh dari antusiasme di kantor, di infotainment pun timnas jadi komoditas.
Tapi sayang, banyak pencinta timnas kita yang baru tak mengerti akan kualitas lawan kita di sana. Disangkanya menang atas Malaysia-Filipina-Thailand punya arti kita sudah masuk level utama persepakbolaan dunia. Maka kala Rijsbergen menggantikan Riedl dan kita kalah beruntun di Pra Piala Dunia Brasil 2014 para supporter kurang paham ini menyalahkan sang pelatih dan menganggap timnas kita telah alami kemunduran.
Padahal, timnas kita kala itu sudah masuk ke fase grup. Di Pra Piala Dunia Afsel 2010 bahkan kita gagal mengalahkan Suriah di fase sebelum grup (penyisihan awal). Lolos dari adangan Turkmenistan adalah hal hebat. Itu kemajuan bro. Kalau kemudian kita kalah dari Usbekistan dan Bahrain, itu karena kualitas kita memang belum beranjak banyak. Progres kita baru mulai. Itu Negara yang jadi lawan kalau ikut AFF Cup pasti bias juara semua bray. Pelan-pelan saja…. Tapi kemudian timnas kita direndahkan dan dihina dengan skor 0-10. Astaga, kalau kalian berpikir jernih, itu bukan karena timnas begitu tolol. Banyak factor bung. Pertama, kita tak full tim seperti era kualifikasi lawan Turkmenistan. Kedua, motivasi sudah melorot karena tak ada peluang. Terakhir: apa kalian tak lihat ada permainan di sana (bahkan di Liga Inggris aka BPL saja tim yang kipernya sudah kartu merah diawal tak akan pernah dihukum dengan 5 penalti lagi walau ada pelanggaran, apalagi Cuma sekadar diving.).
Tentang PSSI-KPSI, agaknya saya mau ingatkan lagi tentang kisah Salomo (Sulaiman) dan dua ibu. Ingat cerita kala Salomo bilang pada dua ibu yang merebutkan satu bayi untuk dipotong dua saja itu bayi? Apa yang dilakukan ibu bayi yang sesungguhnya? Dia relakan bayinya diambil ibu palsu daripada bayi itu mati walau dia dapat separuhnya. Nampak-nampaknya Djohar dkk sudah jadi ibu yang benar di KLB lalu. Betapapun kalian katakana KPSI menang dan PSSI kalah, Djohar dkk sudah menjauhkan PSSI dari sangsi FIFA. Mungkin ini arti kata-kata Djohar: Demi Merah Putih. Kalau saja mereka ngotot dan siding deadlock (kalau tak ada yang walkout), semalam Arab sudah dapat tiga poin WO karena diskualifikasi kita. Terserah Andika sinting di Kompasiana mau bilang apa.
Dan ini endingnya. Walau terkesan Djohar jalan sendiri dan meninggalkan kawan-kawannya, anda akan tahu Djohar tak jadi kutu loncat. Dia hanya menunggu pelengseran saja dan membiarkan dirinnya esok diganti karena ini saat yang tepat. Tepat? Yah, karena KPSI yang sudah menang membuat blunder dengan masih menggunakan senjata pamungkasnya untuk membantai. Sebenarnya tak perlu lagi. Mereka sudah berkuasa di PSSI, namun ketamakan mereka jadi blunder.
Senjata itu adalah timnas. Dan semalam timnas itu dipasang sebagai kembang api di pesta kemenangan KPSI atas PSSI niatnya. Tapi, KPSI lupa. Timnas kita di level Asia dalam empat partai ke depan. Lawan yang menanti adalah Cina, Arab, dan Irak. Untuk beberapa bulan ke depan tak ada unjuk gigi di hadapan Negara semenjana region Asia Tenggara. Mereka mengangkat gembar-gembor kehebatan timnas asal ISL di laga semalam. Bahkan demi mengira akan hasil bagus, tak satupun putra IPL di masukkan agar Cuma darah murni ISL yang unjuk gigi. Tapi apa, timnas yang katanya berjiwa laki bukan pengecut itu tak lebih baik dari timnas yang sukses menahan Irak di UEA Januari lalu.
Melawan tim bertaktik lambat saja timnas yang pemainnya penuh bintang dan malas latihan ini (bahkan pelatihnya bisa disingkirkan ibarat murid borju di sekolah kaya yang bisa mendikte gurunya) kelimpungan di kandang sendiri. Kelimpungan saat uang mereka tinggal cek ATM saja dan diduking 75 ribu orang yang salah satunya adik saya sendiri di Senayan. Saya jadi merasa bangga pada timnas sebelumnya yang bias dapat hasil serupa (kalah satu gol) di negeri orang, tanpa dukungan bintang-bintang, pelatihnya level kampong (katanya liganya level kampong), dana dari menpora tak juntrung jelas keluarnya, hotel pemain pindah-pindah karena berutang, fisoterapisnya koar-koar tak digaji, dan hanya dapat doa dari oaring-orang seperti saya yang 100 persen cinta timnas walau beda apresiasi semalam.
Djohar akan disingkirkan tak lama lagi. Eksko yang keluar juga tak punya uang tuk memutar liga tandingan baru. Tapi perlahan timnas jeger yang penuh bintang tanpa mau proses dan latihan dan didukung banyak orang itu akan ditinggalkan supporter karbitan. Kemarin malam rame kok? Astaga, apa bakal rame di home match kedua timnas kalau tak ada peluang lagi di grup. Lalu matchday home terakhir yang pastinya sudah tertutup peluang alias masuk kotak apa bakal merah tuh GBK?
Tahun depan AFF Cup baru ada lagi. Tapi jelas akhir 2014 kala AFF digelar pemilu sudah kelar. Kalau sudah terang ada yang kalah, apa masih perlu eksploitasi timnas? Kala digelar di luar negeri apa bias kita juara? Filipina, Myanmar, dan Laos saja berbenah dan sungguh berlatih dan berproses, apalagi Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand yang haus juara dan tangguh. Kala timnas kalah lagi diproses kita yang harapkan jalan instan ini maka semua akan kabur. Kala ini terjadi Djohar dkk akan dikenang sebagai para reformis bola mafia negeri ini yang telah mencoba namun gagal, sepertinya dia pahlawan deh. Dan timnas akan benar-benar ditinggalkan para supporter yang haus prestasi. Maka tinggallah orang-orang seperti saya, yang tetap jadi pencinta timnas walau kalah melulu sekalipun asal ada dan berusaha di jalan yang bukan jalan mafia.
Maafkan aku Garuda kala membiarkanmu dikuasai orang yang tak seharusnya. Bukannya benci kalau kuingin kau kalah melulu saat ini. Aku ingin penguasamu kini meninggalkanmu karena kau impoten pikirnya. Dan saat kelak kau jatuh tersungkur dan tak dipedulikan orang, aku dan orang-orang sepertiku akan jadi orang-orang pertama yang mendukungmu bertanding walau dalam stadion yang senyap. Garudaku…. Aku cinta, tapi tidak saat ini…..
www.qodoq2000.blogspot.com

25 March 2013 | 12:15

Garuda, Kupergi untuk Kembali

Hahahaha…. Saya jadi bingung sama diri saya sendiri. Belasan tahun mendukung timnas, baru semalam lagi saya menikmati timnas kalah. Menikmati? Yah, menikmati.
Anda boleh bilang saya punya kadar nasionalisme yang rendah. Tapi nanti dulu…. Justru karena kebesaran nasionalisme saya maka saya justru senang dengan pencapaian The Real Garuda yang rontok tok tok semalam.
Mungkin terakhir kali saya tersenyum senang pada saat timnas kalah adalah saat Mursyid Effendi mencetak gol ke gawang sendiri di Vietnam, di Piala Tiger jilid dua tahun 1998 kalau tak salah. Kenapa senang, karena memang yang terpikir itulah satu-satunya jalan yang akan melanggengkan Garuda saat itu jadi juara. Terbukti kan Thailand juga disingkirkan Vietnam di semifinal. Kalau bicara sportivitas memang lain cerita, tapi bicara demi kebesaran bangsa (dalam imaji seorang remaja kala itu) rasanya Mursyid gak salah. Siapapun yang mengerti hitung-hitungan dalam system round robin tournament pasti tergoda dengan jalan itu.
Lupakan tragedy 15 tahun lalu itu. Kini 2013. PSSI baru saja diambil alih oleh tangan-tangan jahat. Kalau ada yang beropini telah terjadi perdamaian di PSSI, kemungkinannya Cuma dua: tak tahu masalah atau pura-pura bodoh. Tiba-tiba saja Djohar melunak. Dimulai dengan BTN yang tak diamini eksko yang eksis, kemudian muncul timnas versi Blanco yang diagung-agungkan KPSI. Setelah BTN klick dengan KPSI, perlahan BTN digembosi (lihat Habil yang jadi seperti badut kala Blanco dikerjai anak-anak dan lalu bapak-bapak ISL), kemudianm timnas pun dikuasai secara penuh oleh para mafia. Jadi, kala timnas berdarah mafia maju atas nama bangsa, apakah saya yang cinta mati dengan timnas akan bangga mendukung? Saya rasa saya yang mulai bijak akan bilang: nanti dulu.
——
Okeh, saya akan merunut ke belakang. Ingat dengan masa adanya IPL pertama. Kenapa bisa ada liga itu? Semua yang sudah nonton bola saat itu juga tahu kalau liga itu untuk menggulingkan mafia yang sudah memuakkan negeri ini. Kalau kata pembencinya itu klub kloningan, bukankah pada awalnya juga klub di IPL adalah implementasi klub ISL yang bermain dua kaki. Saya ingat seorang Jakmania yang saya kenal pernah menceritakan bahwa klub Jakarta yang ini dan itu di IPL jilid satu kala itu adalah representasi Persija dan Persitara, lalu klub Medan yang ini dan itu adalah jelmaan PSMS, dll. Singkat kata, IPL pada awalnya adalah harapan kita semua untuk menggulingkan mafia saat itu. Kalau ada yang bilang salah, pasti dia memang belum mengerti bola saat itu. Yang namanya Andika tolol di Kompasiana semoga ngerti ketololannya.
Akhirnya perlawanan itu berhasil. Lalu… blablabla…. Kita semua tahu hingga pecan lalu akhirnya mafia menguasai PSSI lagi. Merujuk pada masa emas akhir era mafia 2004-2011, maka senjata pamungkas yang dimiliki mafia adalah timnas yang mentereng. Sebuah timnas yang memesonakan banyak mata pencinta bola baru di AFF Suzuki Cup 2010. Saya memang senang karena di era itu saya tak jadi minoritas di kantor yang peduli pada aksi timnas. Sebelum itu, kala timnas main di TV kala jam kantor (karena kerja di sebuah surat kabar maka jam kantor adalah sore hingga tengah malam) tak banyak yang peduli dengan timnas di kantor saya (saya yakin jiwa orang di kantor saya adalah representasi bangsa ini di dunia nyata, semacam populasi quick count gitu). Akhirnya, hingga final aksi timnas jadi tontonan yang ramai di hadapan saya. Tak jauh dari antusiasme di kantor, di infotainment pun timnas jadi komoditas.
Tapi sayang, banyak pencinta timnas kita yang baru tak mengerti akan kualitas lawan kita di sana. Disangkanya menang atas Malaysia-Filipina-Thailand punya arti kita sudah masuk level utama persepakbolaan dunia. Maka kala Rijsbergen menggantikan Riedl dan kita kalah beruntun di Pra Piala Dunia Brasil 2014 para supporter kurang paham ini menyalahkan sang pelatih dan menganggap timnas kita telah alami kemunduran.
Padahal, timnas kita kala itu sudah masuk ke fase grup. Di Pra Piala Dunia Afsel 2010 bahkan kita gagal mengalahkan Suriah di fase sebelum grup (penyisihan awal). Lolos dari adangan Turkmenistan adalah hal hebat. Itu kemajuan bro. Kalau kemudian kita kalah dari Usbekistan dan Bahrain, itu karena kualitas kita memang belum beranjak banyak. Progres kita baru mulai. Itu Negara yang jadi lawan kalau ikut AFF Cup pasti bias juara semua bray. Pelan-pelan saja…. Tapi kemudian timnas kita direndahkan dan dihina dengan skor 0-10. Astaga, kalau kalian berpikir jernih, itu bukan karena timnas begitu tolol. Banyak factor bung. Pertama, kita tak full tim seperti era kualifikasi lawan Turkmenistan. Kedua, motivasi sudah melorot karena tak ada peluang. Terakhir: apa kalian tak lihat ada permainan di sana (bahkan di Liga Inggris aka BPL saja tim yang kipernya sudah kartu merah diawal tak akan pernah dihukum dengan 5 penalti lagi walau ada pelanggaran, apalagi Cuma sekadar diving.).
Tentang PSSI-KPSI, agaknya saya mau ingatkan lagi tentang kisah Salomo (Sulaiman) dan dua ibu. Ingat cerita kala Salomo bilang pada dua ibu yang merebutkan satu bayi untuk dipotong dua saja itu bayi? Apa yang dilakukan ibu bayi yang sesungguhnya? Dia relakan bayinya diambil ibu palsu daripada bayi itu mati walau dia dapat separuhnya. Nampak-nampaknya Djohar dkk sudah jadi ibu yang benar di KLB lalu. Betapapun kalian katakana KPSI menang dan PSSI kalah, Djohar dkk sudah menjauhkan PSSI dari sangsi FIFA. Mungkin ini arti kata-kata Djohar: Demi Merah Putih. Kalau saja mereka ngotot dan siding deadlock (kalau tak ada yang walkout), semalam Arab sudah dapat tiga poin WO karena diskualifikasi kita. Terserah Andika sinting di Kompasiana mau bilang apa.
Dan ini endingnya. Walau terkesan Djohar jalan sendiri dan meninggalkan kawan-kawannya, anda akan tahu Djohar tak jadi kutu loncat. Dia hanya menunggu pelengseran saja dan membiarkan dirinnya esok diganti karena ini saat yang tepat. Tepat? Yah, karena KPSI yang sudah menang membuat blunder dengan masih menggunakan senjata pamungkasnya untuk membantai. Sebenarnya tak perlu lagi. Mereka sudah berkuasa di PSSI, namun ketamakan mereka jadi blunder.
Senjata itu adalah timnas. Dan semalam timnas itu dipasang sebagai kembang api di pesta kemenangan KPSI atas PSSI niatnya. Tapi, KPSI lupa. Timnas kita di level Asia dalam empat partai ke depan. Lawan yang menanti adalah Cina, Arab, dan Irak. Untuk beberapa bulan ke depan tak ada unjuk gigi di hadapan Negara semenjana region Asia Tenggara. Mereka mengangkat gembar-gembor kehebatan timnas asal ISL di laga semalam. Bahkan demi mengira akan hasil bagus, tak satupun putra IPL di masukkan agar Cuma darah murni ISL yang unjuk gigi. Tapi apa, timnas yang katanya berjiwa laki bukan pengecut itu tak lebih baik dari timnas yang sukses menahan Irak di UEA Januari lalu.
Melawan tim bertaktik lambat saja timnas yang pemainnya penuh bintang dan malas latihan ini (bahkan pelatihnya bisa disingkirkan ibarat murid borju di sekolah kaya yang bisa mendikte gurunya) kelimpungan di kandang sendiri. Kelimpungan saat uang mereka tinggal cek ATM saja dan diduking 75 ribu orang yang salah satunya adik saya sendiri di Senayan. Saya jadi merasa bangga pada timnas sebelumnya yang bias dapat hasil serupa (kalah satu gol) di negeri orang, tanpa dukungan bintang-bintang, pelatihnya level kampong (katanya liganya level kampong), dana dari menpora tak juntrung jelas keluarnya, hotel pemain pindah-pindah karena berutang, fisoterapisnya koar-koar tak digaji, dan hanya dapat doa dari oaring-orang seperti saya yang 100 persen cinta timnas walau beda apresiasi semalam.
Djohar akan disingkirkan tak lama lagi. Eksko yang keluar juga tak punya uang tuk memutar liga tandingan baru. Tapi perlahan timnas jeger yang penuh bintang tanpa mau proses dan latihan dan didukung banyak orang itu akan ditinggalkan supporter karbitan. Kemarin malam rame kok? Astaga, apa bakal rame di home match kedua timnas kalau tak ada peluang lagi di grup. Lalu matchday home terakhir yang pastinya sudah tertutup peluang alias masuk kotak apa bakal merah tuh GBK?
Tahun depan AFF Cup baru ada lagi. Tapi jelas akhir 2014 kala AFF digelar pemilu sudah kelar. Kalau sudah terang ada yang kalah, apa masih perlu eksploitasi timnas? Kala digelar di luar negeri apa bias kita juara? Filipina, Myanmar, dan Laos saja berbenah dan sungguh berlatih dan berproses, apalagi Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand yang haus juara dan tangguh. Kala timnas kalah lagi diproses kita yang harapkan jalan instan ini maka semua akan kabur. Kala ini terjadi Djohar dkk akan dikenang sebagai para reformis bola mafia negeri ini yang telah mencoba namun gagal, sepertinya dia pahlawan deh. Dan timnas akan benar-benar ditinggalkan para supporter yang haus prestasi. Maka tinggallah orang-orang seperti saya, yang tetap jadi pencinta timnas walau kalah melulu sekalipun asal ada dan berusaha di jalan yang bukan jalan mafia.
Maafkan aku Garuda kala membiarkanmu dikuasai orang yang tak seharusnya. Bukannya benci kalau kuingin kau kalah melulu saat ini. Aku ingin penguasamu kini meninggalkanmu karena kau impoten pikirnya. Dan saat kelak kau jatuh tersungkur dan tak dipedulikan orang, aku dan orang-orang sepertiku akan jadi orang-orang pertama yang mendukungmu bertanding walau dalam stadion yang senyap. Garudaku…. Aku cinta, tapi tidak saat ini…..

www.qodoq2000.blogspot.com

24 March 2013 | 14:32

Rabu, 20 Maret 2013

Valkyrie di Sepakbola Indonesia

pernah nonton valkyrie, belum lama kok filmnya. sedih akhirnya! kisahnya tentang aksi pemberontakan para petinggi jerman atas hitler yang gagal.
persis seperti film itu, persis pula sepakbola negeri ini buat saya per saat ini.
para petinggi di film itu sesungguhnya sudah muak sebagaimana rakyat pada sang fuhrer, maka diam-diam disusunlah cara untuk menghancurkannya plus antisipasi kekuatan balasan para loyalis atas nama operasi valkyrie. rakyat juga sudah bosan dengan aksi tipu-tipu persepakbolaan nasional ala mafia selama ini. aksi pun di gagas dari adanya liga primer sampai terbentuklah kepengurusan pssi baru yang menggulingkan para mafia.
sama seperti di film itu, aksi di sepakbola nasional pun sukses di 2011 lalu. fuhrer di bom, om halid juga tergusur.
operasi berikutnyalah yang agak susah. membersihkan loyalis fuhrer, mafia bola juga coba diberangus. sedikit demi sedikit jenderal nazi dilucuti. liga super yang penuh intrik pun diformat ulang. perlawanan muncul, namun keberuntungan memihak para pejuang. di bola kita juga. walau ada hambatan, cas, afc, dan fifa tetap mendukung reformis bola.
namun akhirnya tiba hal yang tak diduga. fuhrer selamat dari pengeboman sebelumnya ternyata, dan dia dalam ketakberdayaannya mengirim telegram. mafia juga gagal mati dan mulai bangkit dan meminta rekonsiliasi penuh syarat.
di film, penentunya adalah jenderal pensortir telegram: pilih meneruskan telegram fuhrer ke militer atau telegram para pemberontak yang rindu damai. sebenarnya sang penyortir tahu kalau hatinya ingin fuhrer jatuh, tapi dia pun takut kalau akan jadi korban andai fuhrer kembali. akhirnya dia pilih memvalidasi telegram fuhrer dan operasi valkyrie gagal total.
di negeriku sang penyortir tadi adalah menpora. hatinya tahu keresahan rakyat, tapi dia dibutakan keselamatannya sendiri mengingat nasibnya terancam manakala mafia tetap bangkit. operasi pun gagal gal gal.
namun satu hal, seperti di film: setelah pelaku valkyrie dieksekusi, nazi jatuh tak lama kemudian. akankah sama dengan sepakbola negeriku??
 
Senin, 18 Maret 2013 | 06:34 WIB

Minggu, 17 Maret 2013

Siapkah ISL bila Persija Degradasi

Lama tak nonton bola Indonesia karena kisruh sepakbola nasional, kemarin sore saya iseng menikmati sebuah laga ISL. Astaga, Persija dibantai 0-3 dari klub semenjana yang baru pertama saya dengar, Persepam. Status Persija sendiri adalah tuan rumah. Suatu hal yang miris bila melihat posisi di klasemen (yang juga sudah lama tak saya perhatikan), Persija ada di bawah sekali. Ini sebuah anomali bila melihat kiprah Macan Kemayoran dalam 14 tahun terakhir.
Dulu Persija memang terseok di era awal Liga Indonesia (Dunhill-Kansas), raja Jakarta adalah Pelita Jaya. Saya ingat dulu, Persija membuat gebrakan era awal Bang Yos dengan membuat “dream team”. Pemirsa lama tentu ingat bagaimana Ansyari Lubis dan Kurniawan harus buat permintaan maaf kala menampik gagasan sang gubernur untuk begabung. Era Luciano Leandro dan Nur’alim pun mulai membahanakan Persija ke jajaran elite liga nasional. Walau cuma sekali juara di awal 2000-an, Persija selalu bertahan di jajaran elite sampai kemarin sore saya temukan kenyataan itu.
Sungguh saya jadi ingin bertemu beberapa kawan di kantor saya yang lama untuk sekadar melongok pendapat mereka tentang Persiaja, karena beberapa rekan di sana anggota Jakmania yang awet sejak lama. Saya mau dengar pendapat mereka, yang sepertinya baru kali ini melihat timnya jatuh bangun.
Dulu kala kami bicarakan bola nasional, seorang rekan di sana yang anggota Brajamusti pernah kami sindir akan kemilitanannya sementara PSIM cuma ada di level dua. Kawan Jakmania saya seolah sama seperti saya (yang PSMS lovers) mengira tim kebanggaan kami tak akan pernah merasakan posisi miris itu mengingat tim kami adalah jajaran top Tanah Air.
Yah, tak lama PSMS rontok di ISL jilid I, dan saya merasakan sulitnya berbangga akan sebuah tim yang tak punya capaian membanggakan. Kini Persija saya kira akan ikut rontok kalau suasana status quo sampai akhir musim. Pertanyaan saya, apa Jakmania akan siap menerima degradasi bila terus begini? Aremania mungkin sudah bisa melewati masa degradasi dan kembali ke level utama, bahkan juara. Bagaimana Persija, bagaimana Jakmania? Dan jauh lebih besar lagi, siapkah ISL kehilangan Persija di musim mendatang?

15 March 2013 | 08:46

Minggu, 10 Maret 2013

Kalau Timnas BTN Kalah Telak dari Arab Misalnya, Apalagi Alibi Sepak Bola Indonesia?

terhenyak mengingat kekalahan sepuluh gol tahun lalu. jutaan hujat turun atas kami yang mendukung timnas saat itu. padahal kami mendukung karena yang bertanding di lapangan itu anak indonesia. kiper kita di kartu merah di menit awal, wasit jelas berat sebelah dengan lima penalti dalam satu pertandingan. tak ada keluhan bersama atas masalah wasit, yang ada cuma hujat: sukurin tuh kalah sepuluh kosong, timnas ipl sih, abal-abal, salam sepuluh kosong yah…..
kalau pssi kita tidak kisruh, kalau anda nonton pertandingan dengan kualitas wasit seburuk itu, apakah anda mau mengejek suporter timnas, mengejek pengurus, atau mengejek pemain yang sudah habis-habis namun memang kalah kualitas.
setelah laga itu, setiap timnas era kini bertanding hujatan beredar sebelum bermain. dalam tekanan itu saya bersyukur timnas masih punya nilai positif sesekali walau memang kosong prestasi. tapi toh jauh sebelumnya timnas kita kering prstasi. sampai-sampai di laga lawan oman di era pemain terbaik negeri ini masih full di timnas seorang suporter turun ke lapangan dan dengan gemas merebut bola seolah mau mengajari pemain kita yang melempem kala itu.
kini harapan tersaji. ada sebuah terobosan tengah ala btn yang akan kembali mengawinkan semua unsur pemain terbaik nasional dalam satu timnas. yang lokal dari ipl dan isl diundang tes, pun para pemain naturalisasi. seolah ini adalah jalan terbaik yang akan jadi jalan keluar yang diamini menpora. ingat bagaimana hopelessnya pak menpora kala melihat timnas prihatin kemarin akan melawan irak.
kini pemain terbaik itu akan mentas bareng. akankah hasilnya lebih positif dari kalah sebiji gol atas irak? kalau kalah lawan arab nanti, apalagi alibi sepakbola kita? akankah kalian mengejek timnas kita???
berharap hasil positif dengan hadirnya nama seperti maitimo, cussel, van dick, bachdim, michels, igbonevo, nwokolo, atau gonzales menemani sosok okto, mofu, andik, bonai, boas, firman, suyono, dll. wih…. gak ada alasan lagi, kami harapkan garuda berprestasi tingkat tinggi.

06 March 2013 | 13:31

Jangan Pernah Khianati Indonesia

saya sengaja pakai judul di atas karena baru saja seorang politisi muncul di tv berujar judul itu. pada dasarnya saya yakin kalimat itu murni pencitraan, karena yang berjalan selama ini jelas tak seperti itu.
oke, saya akan berhenti bicara politis, sesuai forum saya ingin bicarakan bola. gulana rasanya hati ini melihat kisruh pssi selama ini yang tak henti. saya tahu bahwa semangat reformasi yang dibawa para pengurus baru adalah sesuatu yang baik, hanya saja kita perlu sadar bahwa sistem yang ada belum siap. jadi apapun langkah yang diambil akan selalu mendapat resistensi. makanya, jauh sebelum aff cup saya sudah katakan di kompasiana: ada baiknya para reformis mundur saja. ibarat main komputer kayak menpora, mother board bangsa kita memang belum bisa nyetel sama prosesor anyar. alih-alih buat semua ergonomis, sistem malah down.
saya kagum dengan kesabaran djohar cs selama ini, namun sepertinya sudah saatnya menyerah. biarlah kebatilan meraja, toh hal itu yang memang klik di bangsa ini.
tengok saja sisi lain negeri ini, semua kebatilan seperti dibiarkan berjalan.
lepas dari itu, biarlah kita menikmati saja kondisi ini sampai mereka puas dan mentok dengan ambisinya. toh akan ada sisi lain yang bisa kita garap dengan lebih baik dan bermartabat di mata sang pencipta. para reformis sudah mencoba, namun gagal. mungkin lain kali baru sukses, bagaimana?
saya merindukan kompetisi penghibur rakyat kembali satu. terlepas dari rekayasa, tetap ada emosi yang asyik menyaksikan suporter berdebat membela klubnya semata, dan bukan pengurus pilihannya atau kompetisi mana yang lebih hebat. saya juga merindukan timnas yang dibela semua, bukan yang didoakan kalah hanya karena bukan dari kompetisi harapan sebagian orang.
ini era emas, 56 pemain yang diundang btn amat menjanjikan timnas terkinclong sepanjang masa. bintang lokalnya numero uno, anak angkat hasil naturalisasi juga muantep semua.
jangan pernah khianati indonesia, sepakbola itu atlet; bukan pengurusnya. maju boaz, andik, mofu, okto, cussel, lilipali, gonzales, dkk!

 06 March 2013 | 12:56