Minggu, 24 Maret 2013

Mafia dan Cinta Garuda

Sengaja saya ulas lagi. Sayang terlewat begitu saja….
Hahahaha…. Saya jadi bingung sama diri saya sendiri. Belasan tahun mendukung timnas, baru semalam lagi saya menikmati timnas kalah. Menikmati? Yah, menikmati.
Anda boleh bilang saya punya kadar nasionalisme yang rendah. Tapi nanti dulu…. Justru karena kebesaran nasionalisme saya maka saya justru senang dengan pencapaian The Real Garuda yang rontok tok tok semalam.
Mungkin terakhir kali saya tersenyum senang pada saat timnas kalah adalah saat Mursyid Effendi mencetak gol ke gawang sendiri di Vietnam, di Piala Tiger jilid dua tahun 1998 kalau tak salah. Kenapa senang, karena memang yang terpikir itulah satu-satunya jalan yang akan melanggengkan Garuda saat itu jadi juara. Terbukti kan Thailand juga disingkirkan Vietnam di semifinal. Kalau bicara sportivitas memang lain cerita, tapi bicara demi kebesaran bangsa (dalam imaji seorang remaja kala itu) rasanya Mursyid gak salah. Siapapun yang mengerti hitung-hitungan dalam system round robin tournament pasti tergoda dengan jalan itu.
Lupakan tragedy 15 tahun lalu itu. Kini 2013. PSSI baru saja diambil alih oleh tangan-tangan jahat. Kalau ada yang beropini telah terjadi perdamaian di PSSI, kemungkinannya Cuma dua: tak tahu masalah atau pura-pura bodoh. Tiba-tiba saja Djohar melunak. Dimulai dengan BTN yang tak diamini eksko yang eksis, kemudian muncul timnas versi Blanco yang diagung-agungkan KPSI. Setelah BTN klick dengan KPSI, perlahan BTN digembosi (lihat Habil yang jadi seperti badut kala Blanco dikerjai anak-anak dan lalu bapak-bapak ISL), kemudianm timnas pun dikuasai secara penuh oleh para mafia. Jadi, kala timnas berdarah mafia maju atas nama bangsa, apakah saya yang cinta mati dengan timnas akan bangga mendukung? Saya rasa saya yang mulai bijak akan bilang: nanti dulu.
——
Okeh, saya akan merunut ke belakang. Ingat dengan masa adanya IPL pertama. Kenapa bisa ada liga itu? Semua yang sudah nonton bola saat itu juga tahu kalau liga itu untuk menggulingkan mafia yang sudah memuakkan negeri ini. Kalau kata pembencinya itu klub kloningan, bukankah pada awalnya juga klub di IPL adalah implementasi klub ISL yang bermain dua kaki. Saya ingat seorang Jakmania yang saya kenal pernah menceritakan bahwa klub Jakarta yang ini dan itu di IPL jilid satu kala itu adalah representasi Persija dan Persitara, lalu klub Medan yang ini dan itu adalah jelmaan PSMS, dll. Singkat kata, IPL pada awalnya adalah harapan kita semua untuk menggulingkan mafia saat itu. Kalau ada yang bilang salah, pasti dia memang belum mengerti bola saat itu. Yang namanya Andika tolol di Kompasiana semoga ngerti ketololannya.
Akhirnya perlawanan itu berhasil. Lalu… blablabla…. Kita semua tahu hingga pecan lalu akhirnya mafia menguasai PSSI lagi. Merujuk pada masa emas akhir era mafia 2004-2011, maka senjata pamungkas yang dimiliki mafia adalah timnas yang mentereng. Sebuah timnas yang memesonakan banyak mata pencinta bola baru di AFF Suzuki Cup 2010. Saya memang senang karena di era itu saya tak jadi minoritas di kantor yang peduli pada aksi timnas. Sebelum itu, kala timnas main di TV kala jam kantor (karena kerja di sebuah surat kabar maka jam kantor adalah sore hingga tengah malam) tak banyak yang peduli dengan timnas di kantor saya (saya yakin jiwa orang di kantor saya adalah representasi bangsa ini di dunia nyata, semacam populasi quick count gitu). Akhirnya, hingga final aksi timnas jadi tontonan yang ramai di hadapan saya. Tak jauh dari antusiasme di kantor, di infotainment pun timnas jadi komoditas.
Tapi sayang, banyak pencinta timnas kita yang baru tak mengerti akan kualitas lawan kita di sana. Disangkanya menang atas Malaysia-Filipina-Thailand punya arti kita sudah masuk level utama persepakbolaan dunia. Maka kala Rijsbergen menggantikan Riedl dan kita kalah beruntun di Pra Piala Dunia Brasil 2014 para supporter kurang paham ini menyalahkan sang pelatih dan menganggap timnas kita telah alami kemunduran.
Padahal, timnas kita kala itu sudah masuk ke fase grup. Di Pra Piala Dunia Afsel 2010 bahkan kita gagal mengalahkan Suriah di fase sebelum grup (penyisihan awal). Lolos dari adangan Turkmenistan adalah hal hebat. Itu kemajuan bro. Kalau kemudian kita kalah dari Usbekistan dan Bahrain, itu karena kualitas kita memang belum beranjak banyak. Progres kita baru mulai. Itu Negara yang jadi lawan kalau ikut AFF Cup pasti bias juara semua bray. Pelan-pelan saja…. Tapi kemudian timnas kita direndahkan dan dihina dengan skor 0-10. Astaga, kalau kalian berpikir jernih, itu bukan karena timnas begitu tolol. Banyak factor bung. Pertama, kita tak full tim seperti era kualifikasi lawan Turkmenistan. Kedua, motivasi sudah melorot karena tak ada peluang. Terakhir: apa kalian tak lihat ada permainan di sana (bahkan di Liga Inggris aka BPL saja tim yang kipernya sudah kartu merah diawal tak akan pernah dihukum dengan 5 penalti lagi walau ada pelanggaran, apalagi Cuma sekadar diving.).
Tentang PSSI-KPSI, agaknya saya mau ingatkan lagi tentang kisah Salomo (Sulaiman) dan dua ibu. Ingat cerita kala Salomo bilang pada dua ibu yang merebutkan satu bayi untuk dipotong dua saja itu bayi? Apa yang dilakukan ibu bayi yang sesungguhnya? Dia relakan bayinya diambil ibu palsu daripada bayi itu mati walau dia dapat separuhnya. Nampak-nampaknya Djohar dkk sudah jadi ibu yang benar di KLB lalu. Betapapun kalian katakana KPSI menang dan PSSI kalah, Djohar dkk sudah menjauhkan PSSI dari sangsi FIFA. Mungkin ini arti kata-kata Djohar: Demi Merah Putih. Kalau saja mereka ngotot dan siding deadlock (kalau tak ada yang walkout), semalam Arab sudah dapat tiga poin WO karena diskualifikasi kita. Terserah Andika sinting di Kompasiana mau bilang apa.
Dan ini endingnya. Walau terkesan Djohar jalan sendiri dan meninggalkan kawan-kawannya, anda akan tahu Djohar tak jadi kutu loncat. Dia hanya menunggu pelengseran saja dan membiarkan dirinnya esok diganti karena ini saat yang tepat. Tepat? Yah, karena KPSI yang sudah menang membuat blunder dengan masih menggunakan senjata pamungkasnya untuk membantai. Sebenarnya tak perlu lagi. Mereka sudah berkuasa di PSSI, namun ketamakan mereka jadi blunder.
Senjata itu adalah timnas. Dan semalam timnas itu dipasang sebagai kembang api di pesta kemenangan KPSI atas PSSI niatnya. Tapi, KPSI lupa. Timnas kita di level Asia dalam empat partai ke depan. Lawan yang menanti adalah Cina, Arab, dan Irak. Untuk beberapa bulan ke depan tak ada unjuk gigi di hadapan Negara semenjana region Asia Tenggara. Mereka mengangkat gembar-gembor kehebatan timnas asal ISL di laga semalam. Bahkan demi mengira akan hasil bagus, tak satupun putra IPL di masukkan agar Cuma darah murni ISL yang unjuk gigi. Tapi apa, timnas yang katanya berjiwa laki bukan pengecut itu tak lebih baik dari timnas yang sukses menahan Irak di UEA Januari lalu.
Melawan tim bertaktik lambat saja timnas yang pemainnya penuh bintang dan malas latihan ini (bahkan pelatihnya bisa disingkirkan ibarat murid borju di sekolah kaya yang bisa mendikte gurunya) kelimpungan di kandang sendiri. Kelimpungan saat uang mereka tinggal cek ATM saja dan diduking 75 ribu orang yang salah satunya adik saya sendiri di Senayan. Saya jadi merasa bangga pada timnas sebelumnya yang bias dapat hasil serupa (kalah satu gol) di negeri orang, tanpa dukungan bintang-bintang, pelatihnya level kampong (katanya liganya level kampong), dana dari menpora tak juntrung jelas keluarnya, hotel pemain pindah-pindah karena berutang, fisoterapisnya koar-koar tak digaji, dan hanya dapat doa dari oaring-orang seperti saya yang 100 persen cinta timnas walau beda apresiasi semalam.
Djohar akan disingkirkan tak lama lagi. Eksko yang keluar juga tak punya uang tuk memutar liga tandingan baru. Tapi perlahan timnas jeger yang penuh bintang tanpa mau proses dan latihan dan didukung banyak orang itu akan ditinggalkan supporter karbitan. Kemarin malam rame kok? Astaga, apa bakal rame di home match kedua timnas kalau tak ada peluang lagi di grup. Lalu matchday home terakhir yang pastinya sudah tertutup peluang alias masuk kotak apa bakal merah tuh GBK?
Tahun depan AFF Cup baru ada lagi. Tapi jelas akhir 2014 kala AFF digelar pemilu sudah kelar. Kalau sudah terang ada yang kalah, apa masih perlu eksploitasi timnas? Kala digelar di luar negeri apa bias kita juara? Filipina, Myanmar, dan Laos saja berbenah dan sungguh berlatih dan berproses, apalagi Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand yang haus juara dan tangguh. Kala timnas kalah lagi diproses kita yang harapkan jalan instan ini maka semua akan kabur. Kala ini terjadi Djohar dkk akan dikenang sebagai para reformis bola mafia negeri ini yang telah mencoba namun gagal, sepertinya dia pahlawan deh. Dan timnas akan benar-benar ditinggalkan para supporter yang haus prestasi. Maka tinggallah orang-orang seperti saya, yang tetap jadi pencinta timnas walau kalah melulu sekalipun asal ada dan berusaha di jalan yang bukan jalan mafia.
Maafkan aku Garuda kala membiarkanmu dikuasai orang yang tak seharusnya. Bukannya benci kalau kuingin kau kalah melulu saat ini. Aku ingin penguasamu kini meninggalkanmu karena kau impoten pikirnya. Dan saat kelak kau jatuh tersungkur dan tak dipedulikan orang, aku dan orang-orang sepertiku akan jadi orang-orang pertama yang mendukungmu bertanding walau dalam stadion yang senyap. Garudaku…. Aku cinta, tapi tidak saat ini…..
www.qodoq2000.blogspot.com

25 March 2013 | 12:15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar