di italia ada lazio, di inggris chelsea menggelora,
dan di spanyol real madrid jadi pujaan, dan di dalam negeri harusnya
tetap sehijau psms medan.
tapi kini tak ada semangat lagi…
jadi penonton sepakbola domesti sekitar 18 tahun lebih sejak era liga dunhill, akhirnya luntur juga semangat saya menyaksikan sepakbola domestik walau dari tim kebanggaan saya. seperti halnya lazio, chelsea, atau madrid; psms medan sebelumnya jua saya dukung dalam suka dan dukanya. bahkan 2 kali ayam kinantanku degradasi (terakhir harus 2 musim di divisi 1), hati terasa rindu untuk selalu memantau perkembangan dan perolehan tim.
dari era masih di bawah bayang2 medan jaya di sekup medan sendiri dari segi prestasi, dibayangi psds di provinsi, di kepung semen padang dan persiraja di sekup pulau, bahkan disalip “persijatim sriwijaya fc” sekalipun tak melunturkan semangat meribak sude anak sumatera di percaturan nasional. bahkan bersama kinantan berulang kali diri menikmati sensasi 8 besar, semifinal, bahkan final.
apes sekali pun, degradasi, tetap di hati seperti sebelumnya saya urai.
sebut saja era saphou lassy, michael baboaken, mourmada marco, hingga james koko saya setia menemani. tambah lagi sempat mampirnya kurniawan dy si legenda bersama gaston (yang tak sehebat tobar, chena, atau carasco) walau sudah di divisi 1. era khair rifo, affan, saktiawan, mahyadi, markus, fadli hariri dan rahmat afandi pun masih terkenang.
singkatnya saya sudah ikut bersama psms walau naik atau turun prestasinya.
tapi tiba2 semua luntur.
kini psms saya ada di divisi tertinggi, tak hanya naik, tapi kini malah terkloning jadi 2.
isl dan ipl, saya tahu kalau ipl adalah ajang resmi. tapi mendukung yang satu artinya mengabaikan lainnya, bukankah yang di isl pun sama kinantannya? daripada dukung salah satu dan terjebak arus perdebatannya kini saya menepi.
tak lagi ada niat terjaga di 15.30 untuk sekadar menyaksikan laga sepakbola domestik kini. tak ada pertandingan tim favorit atau memantau hasil para rival. saya berharap dualisme ini segera beres.
tapi kini tak ada semangat lagi…
jadi penonton sepakbola domesti sekitar 18 tahun lebih sejak era liga dunhill, akhirnya luntur juga semangat saya menyaksikan sepakbola domestik walau dari tim kebanggaan saya. seperti halnya lazio, chelsea, atau madrid; psms medan sebelumnya jua saya dukung dalam suka dan dukanya. bahkan 2 kali ayam kinantanku degradasi (terakhir harus 2 musim di divisi 1), hati terasa rindu untuk selalu memantau perkembangan dan perolehan tim.
dari era masih di bawah bayang2 medan jaya di sekup medan sendiri dari segi prestasi, dibayangi psds di provinsi, di kepung semen padang dan persiraja di sekup pulau, bahkan disalip “persijatim sriwijaya fc” sekalipun tak melunturkan semangat meribak sude anak sumatera di percaturan nasional. bahkan bersama kinantan berulang kali diri menikmati sensasi 8 besar, semifinal, bahkan final.
apes sekali pun, degradasi, tetap di hati seperti sebelumnya saya urai.
sebut saja era saphou lassy, michael baboaken, mourmada marco, hingga james koko saya setia menemani. tambah lagi sempat mampirnya kurniawan dy si legenda bersama gaston (yang tak sehebat tobar, chena, atau carasco) walau sudah di divisi 1. era khair rifo, affan, saktiawan, mahyadi, markus, fadli hariri dan rahmat afandi pun masih terkenang.
singkatnya saya sudah ikut bersama psms walau naik atau turun prestasinya.
tapi tiba2 semua luntur.
kini psms saya ada di divisi tertinggi, tak hanya naik, tapi kini malah terkloning jadi 2.
isl dan ipl, saya tahu kalau ipl adalah ajang resmi. tapi mendukung yang satu artinya mengabaikan lainnya, bukankah yang di isl pun sama kinantannya? daripada dukung salah satu dan terjebak arus perdebatannya kini saya menepi.
tak lagi ada niat terjaga di 15.30 untuk sekadar menyaksikan laga sepakbola domestik kini. tak ada pertandingan tim favorit atau memantau hasil para rival. saya berharap dualisme ini segera beres.
04 June 2012 | 10:16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar