Kamis, 26 Januari 2012

hidangan nusantara rasa eropa

barusan nonton "darah garuda" lanjutan "merah putih" kala terjebak hujan di sebuah mal pinggiran jakarta. sebuah film yang kali ini bisa menghibur ketimbang sekuel pendahulunya. kalau dulu saya kecewa dengan kenyataan gantungnya ending pada "merah putih", kali ini "darah garuda" menyajikan cerita yang lebih menggigit hingga pada endingnya.
terlepas pada kohesi koherensi apa yang akan diurai lagi di sekuel akhir, sekuel kedua ini bisalah saya kategorikan sebagus "gie" dalam riset properti film dan semenarik "alangkah lucunya negeri ini" kala bertutur tentang paradok dalam negeri tercinta ini dalam ironi. penggambaran karakter pun sudah kuat setelah sekuel pertama bisa dilewati dengan penuh kritik.
saya salut dengan ketidaktakutan rugi rumah produksi ini kala berani menahan pelepasan film ini tepat setahun, walau sekuel perdana terkesan gagal dan hanya menang di publikasi. hal ini berbeda dengan ketakutan gagal yang saya tangkap pada peluncuran "ketika cinta bertasbih 2" yang tergesa, ketika sekuel awalnya ternyata gagal menembus dominasi "laskar pelangi" atau "ayat-ayat cinta", saat publikasi meledak gagal menggiring penonton berbondong ke bioskop tuk menonton.
salut juga karena kali ini ada film nasional yang bersedia meledakkan mobil, gedung, bahkan pesawat (terlepas itu replika, barang bekas, atau efek soesial) dalam adegan yang disajikan. namun, sebagai film nasional, akhirnya ada sebuah kritik kecil yang bisa saya sampaikan dari film yang skenarionya jelas "hidangan nusantara rasa eropa"!
ingat dialog dayan di "merah putih" kala berhasil menolong amir: "anda merindukan saya?" "darah garuda" juga menyajikan dialog marius: "salam untuk wilhelmina" yang jelas kalimat ejekan khas tentara eropa dalam perang mereka. kemudian kecerdasan sersan siapa itu tentang konferensi jenewa, saya rasa tentara kita tak seglobal itu berpikir di masa itu. rasa-rasanya memang seharusnya bukan terjemahan langsung yang dimainkan agar lebih ke-indonesiaan! sial kuota karakter habis tuk notes ini. nantilah saya lanjutkan lagi!

kemudian juga tentang dialog-dialog lainnya, sulit saya perinci karena hanya menonton satu kali saja, masih banyak nampak gaya bicara tentara dalam film perang konvensional yang sayangnya bukan gaya bicara bangsa kita (indonesia). saya tak sedang merendahkan martabat bangsa, namun itu yang saya kesankan dari film itu.
hal berikutnya yang bisa jadi keunggulan, seperti saya katakan sebelumnya, sama dengan "alangkah lucunya negeri ini", film ini banyak menceritakan kritik sosial menyangkut rasa kedaerahan, eksklusifme agama, bahkan pengkhianatan demi kepentingan yang lazim di masa lalu, yang sayangnya berlanjut hingga saat ini. namun okelah, selamat bergembira tuk pencinta film nasional, sebuah karya baru sudah lahir! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar