Lampu rumah keluarga Indro Warkop tampak terang. Di perumahan mewah
Jalan Kayu Putih Tengah, Jakarta Timur, itu tampak tiga motor berdiri
berjajar. Dua motor Harley Davidson dan satu motor Yamaha. Seekor
burung kenari bertengger dalam sangkar yang bergantung tak jauh dari
ketiga motor itu. Satu mobil Jeep putih buatan tahun 1981, terparkir di
garasi terbuka. Ada lambang motor Harley Davidson berukuran besar yang
terpaku di tembok garasi itu.
Indro memang menggandrungi
Harley Davidson. Berbagai aksesoris motor besar buatan Amerika itu pun
menjadi penghias di ruang tamunya. Ada yang terbuat dari tembaga dan
berbentuk lukisan biasa. Miniatur sepeda tua di dalam figura kaca,
berdiri di meja kiri. Boneka berkepala singa, terpajang di meja sudut
kanan.
Siang itu, Indro duduk santai di samping pajangan
boneka singa. Persis menghadap keluar rumah. Di rumahnya tak ada asbak
rokok. Maklum, sejak dirinya didiagnosis terkena gejala penyakit
jantung, ia berhenti merokok.
Malam itu, pertengahan Mei,
ia mengenakan baju berbahan jeans berlengan buntung dan celana “kargo”
gunung berwarna coklat. Ujung lengan dekat bahu bagian kanan dan
kirinya, ditato lambang Harley Davidson. Telinga kiri berusia 49 tahun
itu dihiasi tiga anting perak dan dua anting di telinga kanannya.
Penampilan garang itu rasanya pas dengan hobinya mengendarai motor
besar.
“Gue udeh nggak konvoi-konvoi lagi. Pake motor
Harley, pas memang lagi kepengen jalan aja. Maunya sih, pake motor
kecil. Tapi, kasihan motornya. Badan segede gini, kok pake motor
kecil,” Indro tertawa sambil memperlihatkan badannya.
Menggendarai
motor Harley Davidson, hobi yang mendarah-daging dari keluarganya. Di
komunitas Harley Davidson, ia menjabat sekretaris jenderal cum pendiri
pertama Harley Davidson Club Indonesia (HDCI). Karena kegandrungannya,
anak bungsunya ia beri nama Harley. Motor pertamanya dibeli tahun 1975.
“Ini
mobil pertama yang gue punya. Keluaran tahun 1981,” ujarnya. “Mobil
ini gue beli karena jasa Warkop. Makanya, gue piara banget ampe
sekarang. Pokoknya nggak mau gue jual.”
“Semua yang gue punya, berkat jasa Warkop. Nggak ada pendapatan lain.”
Baginya,
Warkop adalah darah daging. Meski sendirian, ia tak ingin Warkop
pupus. Ia merasa masih sebuah keluarga. Keluarga yang harus
dipertahankan. “Warkop kan, tinggal gue doang. Ya, gue yang memberikan
saran dan mengawasi kehidupan mereka,”
Mereka yang
dimaksud Indro adalah anak-anak keluarga Warkop, mulai Dono hingga
Kasino. “Kalo dihitung-hitung, gue udeh punya anak tujuh. Tiga anak
gue, satu anak Kasino, dan tiga anaknya Dono.”
*********
Tahun
1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur,
sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana
kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk
bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil
yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide
penentangan Tanaka berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada
Agustus 1973. Pembicaranya, Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin
Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Saat itu mereka
mendiskusikan soal peran modal asing.
Temmy Lesanpura,
mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino,
Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia
menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi
acara di Prambors,” tanya Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih
bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi panjang,
akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung
Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari
kamis malam pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide
guyonan selalu ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya
saja.
Nama warung kopi disematkan sebagai tempat yang
paling demokratis untuk membicarakan hal-hal hangat di negeri ini.
Konsep siaran bergaya komunikatif dan berkesan orang kampung memang
menjadi cara menarik minat orang untuk mendengarkan siaran mereka.
Untuk itu, masing-masing punya aksen suara yang berbeda. Kasino
menirukan logat China dan Padang. Nanu dengan logat Batak, dan Rudy
Badil dengan aksen Jawa.
Tahun 1974, Dono direkrut untuk
bergabung di acara itu. Ia dikenal sebagai salah satu aktivis UI.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS, sekarang FISIP) itu dikenal tak
banyak bicara. Namun sekali berbicara, banyak orang tertawa. Apalagi
aksen Jawa-nya kental.
“Dari materinya, acara ini sering
nyinggung juga tentang anti modal asing. Tapi, sentilannya tidak
kentara. Halus banget. Kita tahu, arahnya ke masalah hangat juga,”
tutur Indro.
15 Februari 1974. Saat itu Tanaka tiba di
Jakarta. Mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa di Bandar Udara Halim
Perdanakusuma. Tiga pokok tuntutan mahasiswa dalam aksi itu; pertama,
pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan
modal asing yang didominasi Jepang, dan pembubaran lembaga yang tidak
konstitusional.
Aksi kedatangan Tanaka kemudian meluas di
beberapa tempat lainnya di Jakarta. Ironinya, terjadi kerusuhan,
pembakaran, dan penjarahan. Mobil dan motor buatan Negeri Sakura itu,
dibakar massa. Asap mengepul di segala penjuru.
Peristiwa
itu, akhirnya dikenal dengan ‘Malari 74’, kependekan dari Malapetaka
Lima Belas Januari 1974. Dari kejadian itu, diperkirakan, 11 orang
meninggal, 300 orang luka-luka, 775 orang ditahan, ribuan mobil dan
motor rusak serta terbakar. Ratusan kilogram emas hilang di sejumlah
toko perhiasan.
Saat berlangsung unjuk rasa anti Tanaka,
Wahjoe Sardono alias Dono berada di antara kerumunan massa di kampus
UI, Salemba, Jakarta Pusat. Dengan membawa kamera, ia berupaya
mendekati podium. Dono meraih mikrofon, lantas menyorongkannya kepada
Rektor UI Prof. Mahar Mardjono untuk berorasi di hadapan massa.
Dono
tidak hanya ikut aksi demo. Ia juga sibuk memotret semua peristiwa
aksi. Banyak wartawan yang sudah mengenalnya sebagai pelawak di Radio
Prambors. Kepada salah satu media di Jakarta, Dono mengatakan dengan
berkelakar,” Tadinya saya punya niat untuk ikut demonstrasi yang
dibayar.”
“Saya kan terkenal. Jadi kalau demonstrasi bisa
cepet ngumpulin banyak orang. Kan, lagi krisis, wajar kalau orang
nyari duit,” kelakar Dono kepada wartawan.
Dono sebenarnya ingin ikut bicara dan memberikan lawakannya untuk menghibur massa. “Tapi. Tidak diberi mikropon, jadinya batal.”
Sehari
sebelum kejadian, Indro baru pulang dari Filipina menjadi kontingen
Indonesia untuk acara Jambore Internasional. Tiba di Bandar Udara
Kemayoran, Indro kaget. Banyak tentara. “Gue pikir, kontingen pramuka
disambut. Hebat banget,” kenang Indro. Saat itu ia masih kelas 1 SMA.
Dalam
kontingen, turut serta anak Pakubuwono. Indro diminta menjaganya.
Semua anggota Pramuka dibawa masuk ke dalam ruangan VIP. Lantas
langsung dilarikan ke rumah kediaman Pakubuwono di Jalan Mendut,
Menteng. Indro memilih pulang ke rumahnya. Firasat Indro, akan ada
kejadian luar biasa di Jakarta. “Seharusnya kontingen dimasukan dulu ke
karantina,” tuturnya.
“Besoknya gue baru tahu, kalau ternyata ada demo besar-besaran dan terjadi pembakaran.”
Jakarta
mencekam. Di kampus UI, Salemba sudah ramai pengunjuk rasa. Indro
berjalan kaki dari rumahnya ke kampus UI Salemba. Di sana, ia melihat
situasi yang mengerikan. Pembakaran mobil dan motor banyak dilakukan di
jalan-jalan. “Saya juga sempat nolong orang tua yang ketakutan,”
tuturnya.
Sementara itu Kasino juga berada di antara massa
yang berada di Bandar Udara Halim. Saat itu, dia menjabat sebagai
Wakil Senat Mahasiswa FIS UI. Massa mahasiswa dan polisi sudah saling
berhadapan. Polisi anti huru-hara dipersenjatai tameng rotan dan alat
setrum. “Ye…beraninya pake setrum,” tutur Kasino.
Tiba-tiba,
polisi menyerang pengunjuk rasa. Kasino dikejar-kejar sampai ke
komplek Angkatan Udara yang tak jauh dari Bandara. Ia terpojok. Dengan
posisi itu, Kasino mengatakan, “Jangan pukul dong pak. Saya kan cuma
ikut-ikutan.” Kasino tidak jadi dipukul.
Masa-masa itu
telah berlalu. Usai peristiwa Malari 1974, Warkop Prambors tetap
mengudara dengan guyonan lucunya. Tahun 1976, barulah Indro bergabung.
Ia sudah mengenal empat anggota Warkop Prambors. Maklum, rumahnya dekat
dengan studio. Jika ada yang siaran sendiri, ia yang menemaninya. Saat
itu, Indro masih kelas 3 di SMA 4 Jakarta.
Di radio
Prambors, Indro bukan orang baru. Rumahnya berdekatan dengan radio itu.
Nama Prambors diambil dari gabungan jalan di kawasan Menteng.
Kepanjangan dari Jalan Prambanan, Mendut, Borobudur dan sekitarnya.
Awalnya disematkan untuk Rukun Tetangga (RT) di sekitar situ.
Julukannya, RT Prambors.
Saat itu, Radio Prambors hanya
amatiran. Kakak sepupunya, Yudi, salah satu orang yang mendirikan
sebelum radio itu akhirnya berubah fungsi menjadi radio bisnis. “Pas
siaran, gue juga yang sering nemenin penyiarnya,” ujarnya.
Kasino
yang mengajak Indro untuk mulai permanen di acaranya. Saat itu, sedang
ada pertandingan softball. Indro menjadi pemain sekaligus tukang
soraknya. “Ndro, nanti malam elu mulai permanen. Mau nggak?” Tanya
Kasino seusainya. Indro langsung menerima ajakannya. Tak hanya di acara
itu, Indro mulai diajak show Warkop.
Formasi acara
obrolan di warung kopi menjadi lima orang. Kasino, Nanu, Rudy Badil,
Dono, dan Indro. Tak ayal, acara ini kian ramai. Masing-masing punya
perannya sendiri. Kasino kadang berganti nama menjadi Acing dan Acong
dengan logat China. Nanu menjadi Poltak yang beraksen Batak. Rudy Badil
berganti nama menjadi Mr. James dan Bang Kholil.
“Gue berperan sebagai Mastowi, Ubai dan Ashori dengan aksen Purbalingga. Sedangkan Dono sebagai Mas Slamet,” kata Indro.
“Pokoknya, semua isi obrolan bebas banget. Tentang apa aja,” kata Indro.
Nama
kelompok mereka disebut dengan julukan Warkop Prambors. Pentas kali
pertama tahun bulan September 1976, saat pesta perpisahan SMP 9 Jakarta
di Hotel Indonesia. Hasilnya dikatakan belum berhasil. Semua personil
gemetaran. Mereka dapat honor transport Rp20 ribu. Indro belum
bergabung.
Pentas kali pertama Indro di acara SMP 1
Cikini, Jakarta. Sebelum pentas, Dono harus mojok dulu untuk
menenangkan dirinya. Rudy Badil, menolak mentas. “Badil dikenal demam
panggung,” ujarnya. “Kalau Dono, harus pelajarin dulu materi
guyonannya. Sebelum pentas, Dono ngumpet.”
Tak lama
kemudian, Warkop diundang di acara IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Mereka bertemu dengan Mus Mualim, seorang pemain musik ‘Indonesia
Lima’. Mus berencana membuat acara untuk tahun baru 1977 di TVRI alias
Televisi Nasional Indonesia. Warkop ditawarin untuk nyanyi bareng oleh
Mus Mualim. Nama acaranya Terminal Musikal, tempat anak muda yang
mangkal di TVRI .
“Yang brengsek itu Nanu. Pas pentas di
IDI itu. Ia malahan nggak jelas keberadaannya. Nggak tahu, ia ngumpet
di mana,” kisah Indro.
“Mentas cuma bertiga. Gue, Dono, ama Kasino. Dono aja masih gugup. Jadi tinggal gue ama Kasino yang peran abis-abisan.”
Dari
situlah, Warkop Prambors mulai dibesarkan. Semua media di Indonesia,
banyak membicarakan kelompok lawakan ini. Guyonan Warkop akhirnya
dikasetkan. Ada sembilan kaset. Kaset pertamanya berjudul cangkir kopi.
Direkam langsung saat pementasan di Palembang. Di kaset kelima berjudul
Pingin Melek Hukum. Indro berperan sebagai mahasiswa penyuluh hukum,
sedangkan Kasino dan Dono sebagai warganya.
Ketenaran di
radio dan di pementasan membuat Hasrat Juwil, eksekutif produser PT.
Bola Dunia melirik Warkop Prambors. Hasrat yang juga anak Prambors,
menghubungi Warkop untuk bermain film. Soal skenario, Warkop diberikan
kebebasan. Honor pertama untuk Warkop Rp15 juta. “Uang itu, kami bagi
rata,” ujar Indro.
Film pertamanya berjudul; Mana Tahan di
produksi tahun 1979. Artis perempuannya Elvy Sukaesih. Film
terakhirnya berjudul; Pencet Sana Pencet Sini, dibuat tahun 1994. Artis
pendukungnya, Sally Marcellina dan Taffana Dewi. Selama 15 tahun itu,
Warkop telah membintangi 34 film.
Beberapa perusahaan
film yang pernah melibatkan Warkop, antara lain PT. Nugraha Mas Film,
PT. Parkit Film, dan PT. Garuda Film. Sejak tahun 1985, akhirnya
diambil alih oleh PT. Soraya Intercine Film yang dimiliki oleh keluarga
Soraya. Saat itu direkturnya, Raam Soraya.
“Raam sangat
membantu keluarga Warkop. Sampai sekarang pun, ia tetap memperhatikan
anak-anak kami. Ia juga, masih ingin bekerja sama dengan Warkop,” ujar
Indro.
Tahun 1983, hari yang sangat menyedihkan bagi
Warkop, Nanu bernama asli Nanu Mulyono, meninggal dunia akibat sakit
ginjal. Dikuburkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia hanya sempat
memerankan beberapa film saja. Sedangkan Rudy Badil, tidak pernah sama
sekali terlibat dalam pembuatan film. Warkop akhirnya tinggal bertiga,
Dono, Kasino Indro.
Nama Warkop Prambors akhirnya berubah
menjadi Warkop DKI. Embel-embel Prambors dilepaskan untuk menghindari
pembayaran royalti kepada Radio Prambors.
“Dulu sempat
ada permainan anak-anak yang menyebutkan istilah DKI dengan nama Dono,
Kasino, Indro. Kita kaget. Kok ada permainan yang dikarang oleh
anak-anak dengan nama kami. Kenapa kita tidak pake aja nama DKI” tutur
Indro.
Sejak itulah mereka bersepakat menambah DKI di depan kata Warkop
“Akhirnya,
berganti deh menjadi Warkop DKI. Terus diplesetin lagi, DKI itu
kependekan dari Daerah Khusus Ibukota.” Indro tertawa.
Film
yang dibintangi Warkop DKI semakin menarik perhatian masyarakat. Semua
orang membicarakannya. Film yang mereka bintangi pun menjadi film
Indonesia termahal dan paling laris.
Era tahun 1980
hingga 1990, perfilman Indonesia berada di puncaknya. Di antara begitu
banyak film yang diproduksi pada saat itu, film yang dibintangi Warkop
DKI dan Rhoma Irama, merupakan dua film yang selalu ditunggu oleh
penonton.
Pada masa jayanya, film Warkop DKI tidak hanya
ditayangkan bioskop lokal. Jaringan bioskop untuk orang kelas menengah
ke atas, Teater 21, sering menayangkan film mereka. Tak hanya itu, di
kampung-kampung diadakan ‘layar tancap’ yang menayangkan film Warkop
DKI. Masyarakat pun berbondong-bondong untuk selalu menjadi tontonan
menarik bagi masyarakat.
“Kita punya kelas penonton sendiri. Semua orang di Indonesia, selalu membicarakan kelompok Warkop DKI,” kenang Indro.
Dengan
semakin terkenalnya, Warkop banyak mendapat undangan ke daerah di
seluruh Indonesia. Kisah yang tidak terlupakan, kenang Indro, saat
berkunjung ke Timika, Papua.
Masyarakat di sana memadati
lapangan dengan mengenakan koteka. Selama berlangsung dialog lawakan,
tak ada satu pun warga yang tertawa. “Kami bingung,” tuturnya. Koteka
adalah alat penutup kemaluan untuk pria. Di buat dari buah labu. Isi
dan bijinya dibuang dan dijemur. Setelah kering, baru bisa dijadikan
penutup kemaluan.
“Tiba-tiba Dono berinisiatif. Ia
berlari-larian dengan gayanya yang lucu di atas panggung,” Indro
memperagakan gaya Dono kepada saya. Gaya Dono, tiru Indro, bergoyak dan
melenggokan tubuh sambil tertawa-tawa.
“Saya dan Kasino, ikutan juga bergaya kayak Dono. Eh…penonton baru pada ketawaan,” kenang Indro sambil tertawa.
Kocak
Warkop DKI selalu ramai oleh penonton. Kelompok ini, tidak pernah
surut dari zaman dan tidak pernah sepi dari kelucuan. Di mana ada
Warkop, disitu orang tertawa.
************
Tubagus
Deddy Gumelar alias Miing yang kini membentuk kelompok lawak Bagito
Group, punya kenangan sendiri dengan Warkop DKI. Tahun 1986, dirinya
diajak oleh Kasino untuk menjadi staf asistennya. Sendirian.
“Kasino
melihat saya, karena lawakan Bagito banyak nyinggung ke masalah sosial
dan politik. Dan akhirnya saya diajak. Saya setuju. Karena Warkop juga
punya nama besar saat itu,” kisah Miing.
Miing
bergabung, setelah Nanu meninggal dunia dan Rudy Badil tidak ikutan
lagi pada setiap pementasan. Miing tidak hanya menjadi asisten,
beberapa kali ia terlibat langsung bermain dalam film Warkop.
Di
Warkop, ia banyak banyak belajar tentang profesionalitas. Pembagian
kerjanya, Dono bertugas dalam hal hubungan pihak luar. Kasino soal
bisnisnya, dan Indro sebagai bendahara dan mengatur hubungan kerja
sama.
Honor yang diperoleh Miing sebagai asisten sebesar
10 persen dari pendapatan panggung yang diperoleh Warkop. “Saya pernah
dapat Rp750 ribu. Berarti honor Warkop tujuh juta setengah. Saat itu
uang segitu gede,” ujar Miing.
Tugas Miing, mempersiapkan
semua perencanaan pementasan Warkop. Termasuk materi guyonannya. Jika
ada pementasan di daerah, tugas Miing yang mencari materi yang tepat
untuk daerah tersebut. Sehingga, lawakan Warkop pas dengan situasi yang
sedang digandrungi. Dari bahasanya sampai pola tingkah serta budaya
daerah yang didatangi.
Selama menjadi asisten Warkop,
banyak cerita yang mewarnai kehidupan Miing. “Maklum orang desa,”
tuturnya. Tak ayal, sang asisten itu kerap jadi korban. “Saya pernah
disuruh bawa setrikaan. Kostum yang mereka kenakan saja, pernah saya
yang cuci sampai setrika.”
Setiap pentas di luar kota,
Miing selalu sekamar dengan Indro. Dan Dono sekamar dengan Kasino.
Selama sekamar dengan Indro, Miing selalu berebutan soal alat pendingin
kamar. Indro, kata Miing, selalu menginginkan ruangan dengan pendingin.
Sedangkan ia sendiri tak tahan.
“Indro, kan memang
berasal dari orang mampu. Nah, gue! Gue kan, orang kampung yang selama
hidup nggak pernah kena ruangan pendingin,” ujarnya.
Suatu
hari di hotel Surabaya, Jawa Timur, Indro ingin tidur. Ia hanya
mengenakan celana dalam dan kaos. AC dinyalakan. Miing tak tahan.
Ketika Indro sudah terlihat mendengkur, diam-diam Miing mematikan AC.
Ketika hawanya tidak dingin, Miing baru bisa tidur.
Belum
lama ia terlelap, Indro terbangun dan diam-diam menyalakan AC lagi.
Tak ayal, Miing terbangun dengan badan kedinginan. Begitu seterusnya.
“Karena asisten, jadinya mengalah terus deh,” ujarnya.
Cerita
lainnya. Ketika pesawat baru mendarat di Surabaya, Miing demam.
Kupingnya terasa panas. Dalam kamar hotel, badannya menggigil. Demam
tinggi. Selimut tebal menutup tubuhnya.. “Pokoknya, tubuh gue udeh
kacau banget. Penyakit sinusitis kambuh lagi.” ujarnya.
Dalam
kondisi itu, Indro malah menghilang dari kamar. Miing kaget.
Pelan-pelan ia keluar kamar. Dari balkon tangga hotel, ternyata Indro
ada di loby hotel. Sedang merokok dan ngobrol dengan pegawai hotel.
Sambil
teriak dan tertawa, Indro mengatakan, “Gue takut elu entar mati di
kamar. Terus, gue yang yang kena jadi saksinya,” kata Indro kepada
Miing. “ Waduh, kalo inget itu, gua jadi ketawa,” ujarnya.
Tentang
Dono, ia adalah sosok orang yang serius dan sulit diajak komunikasi.
Tapi sekali bicara, ternyata enak. Miing pernah dikerjain oleh Dono. Di
Hotel Surabaya, sekitar pukul 09.00, petugas kamar hotel mengetuk
pintu kamarnya. Miing membuka pintu. “Ini pesanan asinan dan acar,”
kata petugas itu.
Miing kaget. “gile..pagi-pagi siapa
yang pesenin asinan ama acar,” pikir Miing bingung. Akhirnya, disantap
juga. Tak lama kemudian, telepon hotel berbunyi, terdengar suara Dono
dengan mengatakan, “Ing, asinan ama acarnya enak nggak,” ujar Dono
sambil tertawa dan menutup telponnya.
“Sialan..nggak
tahunya yang pesanin asinan ama acar pagi-pagi si Dono. Gile bener…gue
dikerjain disuruh makan asinan ama acar doang…”tutur Miing tertawa
mengenang masa itu.
“Kebiasaan Dono selama di daerah apa aja?” Tanya saya.
Dono itu, tutur Miing, punya kebiasaan bangun pagi. “Sebelum yang lainnya bangun, ia tuh, bangun pasti lebih dulu,” ujar miing.
“Ngapain pagi-pagi ia bangun?” Tanya saya.
“Dono
selalu jalan pagi menelusuri kampung-kampung di sekitar hotel. Ia
selalu membawa kameranya untuk memotret kehidupan sekitarnya. Itu yang
selalu Dono lakuin. Pokoknya, kamera nggak pernah ketinggalan,” ujarnya.
“Bagaimana dengan Kasino?” tanya saya.
Kasino,
dikenal orang yang cukup care. Ia memperhatikan kebutuhan Warkop.
Orang ini yang banyak memberikan saran dan pendapatnya. Ia juga yang
pernah mengubah penampilan pakaiannya.
“Kasino pernah
nyuruh gue, make jas. Gue, kan nggak biasa kayak gitu. Kasino bilang
harus rapi,” tutur Miing. “Ia akhirnya ngasih jas miliknya. Bayangin
aja, jas yang terbaik saat itu kan merek Prayudi. Merek ini dulu
terkenal. Akhirnya, gue pake deh,” ujarnya, tertawa.
“Eh,..ia
juga ngasih gue sepatu kets. Waduh…gue akhirnya pake juga. Gue kan,
orang kampung. Istilahnya Tukul, ‘Katrok’,” Miing tertawa lagi.
Selain
Miing, saya juga menemui Kiki Fatmala di rumahnya di kawasan Pondok
Indah, Jakarta Selatan. Artis yang pernah menjadi peran pendukung dalam
beberapa film Warkop DKI. Kali pertama, gadis seksi ini terlibat dalam
film ‘Bisa Naik Bisa Turun’ yang diproduksi tahun 1991. Artis
perempuan lainnya, Sally Marcellina.
“Terlibat di Warkop,
punya kebanggaan sendiri. Pokoknya, semua artis saat itu selalu
membicarakan film mereka. Tidak mudah bisa main di Warkop,” ujar ia.
“Belum
lengkap jadi artis, kalau belum main sama Warkop. Bayarannya paling
tinggi, nama artis akan mudah melonjak. Cara kerjanya, juga enak.”
Warkop
di mata Kiki, kelompok yang gaul dan tidak kaku. Semuanya serba tidak
serius. Dari tiga anggota Warkop, yang paling konyol adalah Indro.
Sedangkan Dono dan Kasino, lebih banyak serius. Hanya sesekali saja
becanda.
“Indro kalau lagi iseng, yang dilihatnya bagian
tubuh montok-montok. Apalagi kalau lihat dada,” tutur Kiki. “Tapi ini
becandaan aja.”
Kiki berdiri dari bangkunya. Ia menirukan
gaya Indro yang mengangkat kedua tangannya sambil didekatkan ke
dadanya. “Nah..ini yang montok,” Kiki tertawa. “Kebiasaan kalau
istirahat syuting, kami sering main kartu. Pake cemongan muka.”
“Pas
sutradara teriak syuting dimulai lagi, kita cuekin aja,” ujar Kiki.
“Terus kita bilang aja, Entar…entar…belum selesai nih,” kenangnya.
“Pokoknya mereka konyol.”
*******
16
September 1997, Warkop DKI berduka. Kasino Hadiwibowo alias Kasino
Warkop meninggal dunia pada usia 47 tahun. Suami Amarmini itu meninggal
akibat menderita tumor otak di Rumah Sakit Cipto Mangukusumo, Jakarta.
Indro tidak sempat melihat langsung detik-detik nyawa Kasino melayang.
Selama
dalam perawatan, Indro dan Dono berbagi tugas menjaganya. Hari itu,
tepat tugas Indro yang menungguinya. Sebelum malam, Indro pulang ke
rumahnya untuk menemui Istrinya. Rencananya, malam akan kembali ke
rumah sakit.
Dokter jaga menelpon dan memberitahukan,
kondisi Kasino kritis. Indro panik. Dengan motornya ia melaju.
Setibanya di rumah sakit, dari parkir mobil ia harus berlari menuju
ruang rawatnya. “Kasino sudah meninggal,” ujar dokter setibanya.
Indro
terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Ia terlihat menahan rasa
sedihnya dengan peristiwa itu. Saya ikut terdiam. Indro melanjutkan
ceritanya. “Semua keluarga besar Warkop termasuk istri saya, yang
terakhir dikabarin.” Indro terdiam lagi. “Saya tidak ingin keluarga
panik,” ujarnya. Kasino dikubur di pemakaman Tonjong, Bogor.
Pekan
lalu, saya mengunjungi rumah tinggal keluarga almahum Kasino di
kawasan Kayu Putih, Jakarta Timur. Saya ditemui putri tunggalnya, Hanna
Sukmaninggsih, 31 tahun. Sudah menikah dan belum punya anak. Ia alumni
Universitas Trisakti Jurusan Design dan Universitas Indonesia di
Fakultas Psikologi.
Di rumahnya, Hanna berjualan kue ala
Belanda. Rumah itu bukan peninggalan Kasino. “Ini rumah keluarga ibu,”
katanya. Dulu, rumahnya berada persis di rumah yang ditinggalinya
sekarang.
“Peninggalan Papa sudah tidak ada lagi. Sudah
dijual untuk biaya pengobatan. Rumah, mobil dan semua peninggalan sudah
habis,” ujarnya. “Kan, Papa menjalani perawatan sekitar setahun
lebih.”
Kasino meninggal ketika Hanna masih kuliah. Untuk
biaya hidup sehari-hari, ibunya yang bekerja ditambah dengan uang sisa
hasil penjualan barang-barang keluarga. Dari situlah, Hanna menamatkan
pendidikannya.
Menjelang kematian Kasino, Hanna dan
Ibunya sedang pulang ke rumah untuk mengambil pakaian. Dan malam itu,
tidak ada satu pun keluarga yang ada di samping Kasino. Kasino, kata
Hanna, seakan tidak ingin kepergiannya dilihat langsung oleh
keluarganya. Kabar duka itu malah diketahui dari sepupunya yang lebih
dulu tiba di rumah sakit.
Kanker otak yang diderita
Kasino, katanya, diduga saat dirinya jatuh dari sepeda gunung yang
dikendarainya. Karena semenjak itulah Kasino mulai sakit-sakitan di
bagian kepalanya. “Tidak ada pesan apa pun dari Papa sebelum
meninggal,” ujarnya.
Empat tahun kemudian setelah Kasino
meninggal, tepatnya 30 Desember 2001, Dono Warkop DKI meninggal dunia di
usia 50 tahun. Pria kelahiran Solo ini, meninggal di Rumah Sakit Saint
Carolus, Jakarta. Dosen FISIP UI ini, akibat penyakit tumor paru-paru.
Indro menyaksikan detik-detik kematiannya.
Beberapa jam
sebelum Dono meninggal, tim medis sudah memberi kabar kondisi
kritisnya. Semua keluarga besar Warkop DKI dan artis lainnya,
berdatangan. Dari kalangan wartawan hanya ada Rudy Badil. Indro berdiri
persis di ujung ranjang berhadapan dengan Dono. Tim dokter berada di
dekat wajah Dono sambil terus memeriksa kesehatannya.
Indro
memperhatikan dokter yang mulai risau sambil melihat jam dinding yang
terletak di belakang Indro. Saat itu, bersamaan terdengar suara adzan
dari seorang ustad yang sengaja didatangkan. Indro ikut gelisah. “Tidak
mungkin adzan. Saat itu, belum waktunya adzan Subuh. Masih tengah
malam,” pikir Indro.
Dengan gelagat itu, Indro langsung
menoleh ke arah jam dinding. “Saya melihat, jam menunjukan pukul
00.05,” tutur Indro. Dan bersamaan dengan itu, tim medis rumah sakit
langsung menyampaikan, “Dono meninggal dunia pukul 00.05,” kata dokter
di hadapan kerabat Dono. Ia dikubur di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
Kematian
Dono meninggalkan ketiga anaknya, Andiko Ario Seno, Damar Canggih
Wicaksono, dan Satrio Trengginas. Istri Dono, Titi Kusumawardhani,
lebih dulu meninggal dunia di tahun 1999 akibat penyakit kanker
payudara.
Indro teringat selama Dono menjalani perawatan,
kondisinya sangat memprihatinkan. Dia sulit untuk bernafas. Dadanya
terasa sesak. Penyakit paru-parunya sudah parah. Ia hanya bisa
memberikan isyarat tangan jika ditanya kondisinya.
Menjelang
Dono meninggal, kenang Indro, ada keanehan saja. Tiba-tiba ia
memanggilnya dan berbicara pelan-pelan. Dono mengatakan, nafasnya tidak
terlalu sesak lagi. “Nafas legaan,” kata Dono.
“Ternyata, kalimat itu yang terakhir,” tutur Indro.
Indro
punya rencana. Tulisan Dono yang pernah dimuat maupun yang masih
tersimpan akan dibukukan. “Dono itu orang yang rajin menulis. Tapi, ia
juga orang yang berantakan tentang arsip.”
Sejenak Indro
berhenti bercerita kepada saya. Ia terlihat tegar menceritakan
kisah-kisah terakhir temannya. “Anda tahu, apa rahasia terakhir antara
Kasino dan Dono,” tanya Indro. Saya menggelengkan kepala. “Dua orang
ini pernah tidak pernah bicara selama tiga tahun.”
Masalahnya,
karena beda prinsip. Kasino dan Dono selalu beda prinsip dari banyak
hal. Konflik itu, hanya Warkop yang tahu. Tidak ada satu pun orang yang
mengetahui kejadian itu. “Termasuk para istri kami,” kata Indro.
Karena
Dono sudah pernah membeberkan ‘perang tutup mulut’ itu, akhirnya bukan
jadi rahasia umum lagi. “Bayangkan selama tiga tahun, berdua nggak
ngomong. Kalau pentas, yang biasa aja. Tapi pas di luar kegiatan,
berdua berdiaman,” tutur Indro.
Indro tak hanya bercerita
kenangannya dengan Warkop. Kepada saya, dia juga menceritakan tentang
keluarganya. Indro tak menyangka hidupnya di dunia lawak. Dulu, ia
ingin sekali menjadi seorang polisi seperti ayahnya. Tapi dalam filmnya
berjudul ‘Chips’ buatan tahun 1982, Indro berperan sebagai polisi yang
bertugas mengatur lalu lintas. Artis pendukungnya; Tetty Liz Indriati
dan Chintami Atmanegara.
Indro yang bernama lengkap
Indrodjojo Kusumonegoro itu dilahirkan pada 8 Mei 1958. Ia anak tunggal
dari seorang Jenderal Polisi bernama Muhammad Oemar Gatab. Indro
dikaruniai tiga anak: Handika Indrajanthy Putrie, Satya Oktobijanty dan
Harleyano Triandro Kusumonegoro. Pendidikan terakhir Indro adalah
Sarjana Ekonomi di Universitas Pancasila, Jakarta.
Sebelum
ayahnya meninggal, ada surat wasiat yang dititipkan kepada ibunya, R.
Ay. Soeselia. “Intinya surat wasiat itu, gue nggak boleh meneruskan
pekerjaan yang sama dengan bokap,” tutur Indro.
Mata
Indro terlihat berkaca-kaca saat mengenang orang tuanya. Ia terdiam
sejenak. Menurutnya, ayahnya seorang polisi yang jujur. Saat meninggal
dunia, tidak ada warisan kekayaan apapun yang ditinggalkannya. “Bapak
gue malah ninggalin utang untuk lunasin rumah.”
“Kalau bokap gue nggak jujur, mungkin keluarga gue nggak kere begitu.”
“Konon
sih, dari beberapa tulisan yang pernah saya baca. Bokap gue ini, dulu
gurunya Hoegeng,” ujarnya. “Bokap gue juga terkenal dengan julukan
jagonya intelijen.”
Hoegeng adalah mantan Kapolri tahun
1968-1971. Nama lengkapnya Hoegeng Iman Santosa. Ia pernah menjabat
sebagai Menteri Iuran Negara (1965-1966), Menteri Sekretaris Kabinet
Inti/ Presidium Kabinet Dwikora (1966-1967), dan Deputy Operasi
Men/Pangab (1967-1968). Hoegeng adalah Kapolri yang pertama kali
mencetuskan ide memakai helm. Ia meninggal dunia pada 14 Juli 2004.
“Pas
bokap meninggal, ibu gue akhirnya buka katering makanan. Walaupun
keluarga saya tinggal di menteng. Dari luarnya aja keren, tapi dalamnya
kere. Rumah gue itu, tempat tampungan semua keluarga dari kampung,”
tutur Indro. “Semua kebutuhan dari kampung ini, keluarga gue yang
tanggung.”
“Gue aja yang nggak mau minta-minta ama orang tua,” ujarnya.
Ibunya
Indro pernah mengatakan, “Ndro, walaupun keluarga dari kampung datang.
Tapi, rumah ini tetap warisan kamu. Kamu yang punya hak. Bukan
siapa-siapa,” ujar ibunya.
“Tapi sampe sekarang, gue nggak
tinggalin rumah yang di Menteng. Sampe sekarang, biarin aja keluarga
dari kampung yang kumpul di sana.”
Kini, Warkop DKI hanya
tinggal Indro sendiri. Akting tak jua ditinggalkannya. Ia masih sibuk
syuting film sinetron sebagai Indro Warkop di televisi swasta. Ia juga
menjadi pembawa acara “SMS” di televisi Indosiar bersama Taufik
Savalas.
Indro tidak ingin nama besar Warkop DKI ikut
mati. Ia mengarahkan putra-putri dari Warkop DKI, sesuai pesan terakhir
Dono, agar membentuk lembaga penerus keluarga besar Warkop DKI.
Gagasan itu kemudian direalisasikan dengan mendirikan Lembaga Warkop
DKI yang diketuai Hanna Kasino. Sedangkan pengurus lainnya adalah
anak-anak Dono, Kasino dan Indro. Sekretariatnya di rumah Indro. Untuk
memfasilitasi fans Warkop, lembaga ini membuat situs internet
www.warkopdki.org.
Tak terasa, 34 tahun lamanya, Warkop
DKI masih juga tak surut dari guyonannya. Kendati cuma ada Indro, grup
ini masih berkibar dengan gayanya sendiri. Kelompok lawak legendaris
ini akan membuat orang tertawa, sebagaimana mottonya yang selalu
diingat oleh pengemarnya: “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”.
25/05/2008
http://my.opera.com/imampersonal/blog/show.dml/2124331
Friday, 24 December 2010 at 00:37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar