Pada tahun 2002 di harian Italian Post , muncul iklan pencarian orang yang istimewa.
17 Mei 1992 di parkiran mobil Wayeli, seorang wanita kulit putih diperkosa oleh seorang kulit hitam. Tak lama kemudian, sang wanita melahirkan seorang bayi perempuan berkulit hitam. Ia dan suaminya harus bertanggung jawab untuk memelihara anak ini. Sayangnya, sang bayi kini menderita leukemia dan memerlukan donor sumsum tulang belakang.
Ayah kandungnya merupakan satu-satunya penyambung harapan hidupnya. Berharap agar sang pelaku pemerkosaan melihat berita ini, kemudian bersedia menghubungi Dr. Adely di RS Elisabeth. Berita pencarian ini membuat seluruh masyarakat gempar. Setiap orang membicarakannya. Masalahnya adalah apakah orang hitam ini berani muncul, karena jelas ia akan menghadapi kesulitan besar. Jika ia berani muncul, ia akan menghadapi masalah hukum, dan ada kemungkinan merusak kehidupan rumah tangganya sendiri. Jika ia tetap bersikeras untuk diam, ia sekali lagi membuat dosa yang tak terampuni.
Dibalik kisah seorang anak perempuan yang menderita leukimia ternyata menyimpan suatu kisah yang memalukan di suatu perkampungan Itali. Martha, 35 thn, adalah wanita yang menjadi pembicaraan semua orang. Ia dan suaminya, Peterson adalah warga kulit putih, tetapi di antara ke 2 orang anaknya, ternyata terdapat seorang anak yang berkulit hitam. Hal ini menarik perhatian setiap orang untuk bertanya, Martha hanya tersenyum kecil berkata pada mereka bahwa neneknya berkulit hitam, dan kakeknya berkulit putih, maka anaknya Monika mendapat kemungkinan seperti ini.
Musim gugur 2002, Monika yang berkulit hitam terus menerus mengalami demam tinggi. Terakhir, Dr. Adely memvonis Monika menderita leukimia. Harapan satu-satunya hanyalah mencari pedonor sumsum tulang belakang yang paling cocok untuknya. Dokter menjelaskan lebih lanjut. Diantara mereka yang ada hubungan darah dengan Monika, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan pedonor tercocok. "Harap seluruh anggota keluarga kalian berkumpul untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang".
Raut wajah Martha berubah, tapi tetap saja seluruh keluarga menjalani pemeriksaan. Hasilnya tak satupun yang cocok. Dokter memberitahu mereka, dalam kasus seperti Monika ini, mencari pedonor yang cocok sangatlah kecil kemungkinannya. Sekarang hanya ada satu cara yang paling manjur, yaitu Martha mengandung dan melahirkan anak lagi sehingga bayinya dapat mendonor untuk Monika. Mendengar usul ini Martha tiba-tiba menjadi panik, dan berkata tanpa suara, "Tuhan... kenapa jadi begini?"
Ia menatap suaminya, sinar matanya dipenuhi ketakutan dan putus asa. Peterson mengerutkan keningnya berpikir. Dr. Adely menjelaskan pada mereka, saat ini banyak orang yang menggunakan cara ini untuk menolong nyawa para penderita leukimia, lagi pula cara ini aman terhadap bayi yang baru dilahirkan. Pasangan suami istri tersebut hanya mendengarkan dan termenung begitu lama. Akhirnya mereka hanya berkata, "kami akan memikirkannya kembali."
Besoknya, ketika Dr. Adely sedang bertugas, datanglah pasangan suami-istri tersebut. Martha menggigit bibirnya keras, Peterson menggenggam tangannya, dan berkata serius pada dokter. Ada suatu hal yang perlu kami beritahu. Tapi harap Anda berjanji untuk menjaga rahasia ini, karena ini merupakan rahasia kami suami-istri selama beberapa tahun. Dr. Adely menganggukkan kepalanya.
10 tahun lalu, bulan Mei tahun 1992. Waktu itu anak kami yang pertama, Eleana berusia 2 tahun. Martha bekerja di sebuah restoran fast food, jam 11 malam baru pulang kerja. Malam itu, turun hujan lebat, saat Martha pulang kerja, jalanan sudah sepi. Ketika melalui parkiran yang tak terpakai lagi, Martha mendengar suara langkah kaki, dengan ketakutan ia melihat, seorang remaja berkulit hitam tengah berdiri di belakang tubuhnya. Orang itu menggunakan sepotong kayu, memukulnya hingga pingsan dan memperkosanya.
Saat Martha sadar sudah jam 2 dini hari, tergesa-gesa ia pulang menuju rumahnya. Waktu itu Martha seperti orang gila mencari orang hitam tsb untuk membuat perhitungan, tapi tak ada satupun bayangan orang . Malam itu kami hanya dapat berpelukan menahan kepedihan. Sepertinya seluruh langit runtuh. Bicara sampai sini, Peterson telah dibanjiri air mata, Ia melanjutkan kembal. Tak lama kemudian Martha hamil. Kami merasa sangat ketakutan, kuatir bila anak yang dikandungnya merupakan milik orang hitam tersebut. Martha berencana untuk menggugurkannya, tapi aku masih mengharapkan keberuntungan, mungkin anak yang dikandung adalah bayi kami. Begitulah, kami ketakutan menunggu beberapa bulan.
Maret 1993, Martha melahirkan bayi perempuan berkulit hitam. Kami begitu putus asa, pernah terpikir untuk mengirim sang anak ke panti asuhan. Tapi mendengar suara tangisnya, kami sungguh tak tega. Terlebih lagi bagaimanapun Martha telah mengandungnya, ia juga merupakan sebuah nyawa. Aku dan Martha merupakan umat Kristen yang taat, akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya, dan memberinya nama Monika.
Mata Dr. Adely digenangi air mata, ia memahami kenapa bagi suami istri ini, mengandung anak merupakan hal yang tidak mungkin. Ia berpikir sambil mengangguk-anggukkan kepala kemudian berkata "jika demikian, kalian melahirkan 10 anak sekalipun sulit untuk mendapatkan donor yang cocok untuk Monika". Beberapa lama kemudian, ia memandang Martha dan berkata "kelihatannya, kalian harus mencari ayah kandung Monika. Barangkali sumsum tulangnya, atau sumsum tulang belakang anaknya ada yang cocok untuk Monika. Tetapi, apakah kalian bersedia membiarkan ia kembali muncul dalam kehidupan kalian?" Martha berkata “Demi anakku, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Bila ia bersedia muncul menyelamatkan Monika, aku tak akan memperkarakannya." Dr. Adely terharu betapa dalam cinta sang ibu.
Martha dan Peterson sudah mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan memuat berita pencarian ini di koran dengan menggunakan nama samaran.
November 2002, koran Wayeli memuat berita pencarian ini, seperti yang digambarkan sebelumnya. Berita ini memohon sang pelaku pemerkosaan berani muncul, demi untuk menolong sebuah nyawa seorang anak perempuan penderita leukimia! Begitu berita ini keluar, tanggapan masyarakat begitu menggemparkan. Kotak surat dan telepon Dr. Adely bagaikan meledak saja, kebanjiran surat masuk dan telepon, orang-orang terus bertanya siapakah wanita itu, mereka ingin bertemu dengannya, berharap dapat memberikan bantuan padanya. Tetapi Martha menolak semua perhatian mereka, ia tak ingin mengungkapkan identitas sebenarnya, terlebih lagi identitas Monika sebagai anak hasil pemerkosaan terungkap. Saat itu seluruh media penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir.
( Surat kabar Roma ) menulis: Akan munculkah orang berkulit hitam itu? Jika berani muncul, akan bagaimanakah masyarakat akan menilainya. Akankah menggunakan hukum yang berlaku untuk menghakiminya. Haruskah ia menerima hukuman dan cacian karena masa lalunya, ataukah ia harus menerima pujian karena keberaniannya.
( Surat kabar Wayeli ) menulis: Bila anda orang berkulit hitam itu, apa tindakan yang anda lakukan? sebagai bahan diskusi. Dan menarik berbagai pendapat akan sulitnya berada di dua pilihan ini.
Bagian penjara setempat terus berupaya membantu Martha, memberikan laporan terpidana hukuman pada tahun 1992 pada RS. Dikarenakan jumlah orang berkulit hitam di kota ini hanya sedikit, maka dalam 10 tahun terakhir ini juga hanya sedikit jumlah terhukum berkulit hitam. Mereka berkata pada Martha sekalipun beberapa orang bukanlah terhukum karena tindak perkosaan, tapi mungkin beberapa juga menemui hal seperti ini.
Beberapa orang ini juga sebagian telah keluar penjara. Martha dan Peterson menghubungi beberapa orang ini, begitu banyak terpidana waktu itu yang bersungguh-sungguh dan antusias untuk memberikan petunjuk. Tapi sayangnya, mereka semua bukanlah orang hitam yang memperkosanya. Tak lama kemudian, kisah Martha menyebar ke seluruh rumah tahanan, tak sedikit terpidana yang tergerak karena kasih ibu ini, tak peduli mereka berkulit hitam maupun berkulit putih, mereka semua bersukarela mendaftar untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, berharap dapat mendonorkannya untuk Monika. Tapi tak satupun pedonor yang memenuhi kriteria.
Berita pencarian ini mengharukan banyak orang, tak sedikit orang yang bersukarela untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, untuk mengetahui apakah dirinya memenuhi kriteria. Para sukarelawan semakin lama semakin bertambah, di Wayeli timbullah wabah untuk mendonorkan sumsum tulang belakang. Hal yang mengejutkan adalah kesediaan para sukarelawan ini menyelamatkan banyak penderita leukimia lainnya, sayangnya Monika tak termasuk diantara mereka yang beruntung.
Martha dan Peterson dengan gelisah menantikan kemunculan si kulit hitam. Akhirnya dua bulan telah lewat, orang ini tak muncul-muncul juga. Dengan tidak tenang, mereka mulai berpikir, mungkin orang itu telah meninggall dunia, mungkin juga telah meninggalkan kampung halamannya, mungkin ia tak bersedia merusak kehidupannya sendiril.
Tak peduli bagaimanapun, asalkan Monika hidup sehari lagi, mereka tak rela untuk melepaskan harapan untuk mencari orang hitam itu. Disaat jiwa merana tak menentu, harapan disaat keputusasaan kembali muncul. Saat itu berita pencarian juga muncul di Napulese, memporakporandakan perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun. Ia seorang kulit hitam, bernama Ajili. Ia adalah pemeran utama dalam kisah ini. Tak seorangpun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu pernah bekerja sebagai pencuci piring. Orang tuanya telah meninggal sejak ia masih muda, ia tak pernah mengenyam dunia pendidikan dan terpaksa harus bekerja. Ia pandai dan cekatan, bekerja dengan giat demi mendapatkan uang dan penghargaan dari orang lain. Tapi sialnya, bosnya merupakan seorang rasialis, yang selalu mendiskriminasikannya. Tak peduli segiat apapun dirinya, selalu memukul dan memakinya.
17 Mei 1992, merupakan ulang tahunnya ke 20, ia berencana untuk pulang kerja lebih awal merayakan hari ulang tahunnya. Siapa menyangka, ditengah kesibukan ia memecahkan sebuah piring. Sang bos menahan kepalanya, memaksanya untuk menelan pecahan piring. Ajili begitu marah dan memukul sang bos, lalu berlari keluar meninggalkan restoran. Ditengah kemarahannya ia bertekad untuk membalas dendam pada si kulit putih. Malam itu hujan lebat, tiada seorangpun lewat, dan di parkiran ia bertemu Martha. Untuk membalaskan dendamnya akibat pendiskriminasian, ia pun memperkosa sang wanita yang tak berdosa ini. Tapi selesai melakukannya, Ajili mulai panik dan ketakutan.
Malam itu juga ia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket KA menuju Napulese, meninggalkan kota ini. Di Napulese, ia bertemu keberuntungannya. Ajili mendapatkan pekerjaan dengan lancar di restoran milik orang Amerika. Kedua pasangan Amerika ini sangatlah mengagumi kemampuannya, dan menikahkannya dengan anak perempuan mereka, Lina, juga mempercayainya untuk mengelola toko mereka. Beberapa tahun ini, ia yang begitu tangkas, tak hanya memajukan bisnis toko minuman keras ini, ia juga memiliki 3 anak yang lucu.
Dimata pekerja lainnya dan seluruh anggota keluarga, Ajili merupakan bos, suami dan ayah yang baik. Tapi hati nuraninya tetap membuatnya tak melupakan dosa yang pernah diperbuatnya. Ia selalu memohon ampun pada Tuhan dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya hidup damai dan tentram. Tapi ia menyimpan rahasianya rapat-rapat, tak memberitahu seorangpun.
Pagi hari itu, Ajili berkali-kali membolak-balik koran, ia terus mempertimbangkan kemungkinan dirinyalah pelaku yang dimaksud. Sedikitpun ia tak pernah membayangkan bahwa wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan menanggung tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga anak yang awalnya bukanlah miliknya.
Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menelpon Dr. Adely, tapi belum selesai menekan tombol nomor, ia sudah menutupnya kembali. Hatinya terus bertentangan, bila ia bersedia mengakui semuanya, setiap orang kelak akan mengetahui sisi terburuknya, anak-anaknya tak akan lagi mencintainya, ia akan kehilangan keluarganya yang bahagia dan istrinya yang cantik. Juga akan kehilangan penghormatan masyarakat disekitarnya. Semua yang ia dapatkan dengan kerja keras bertahun-tahun.
Malam itu, saat makan bersama, seluruh keluarga mendiskusikan kasus Martha. Sang istri berkata “Aku sangat mengagumi Martha, bila aku diposisinya, tak akan memiliki keberanian untuk memelihara anak hasil perkosaan hingga dewasa. Aku lebih mengagumi lagi suami Martha, ia sungguh pria yang patut dihormati, tak disangka ia dapat menerima anak tsb”. Ajili termenung mendengarkan pendapat istrinya, tiba-tiba mengajukan pertanyaan "Kalau begitu, bagaimana kau memandang pelaku pemerkosaan itu?"
"Sedikitpun aku tak akan memaafkannya, waktu itu ia sudah berbuat kesalahan, kali ini juga hanya dapat meringkuk menyelingkupi dirinya sendiri, ia benar-benar rendah, egois, pengecut" demikian istrinya menjawab dengan api kemarahan. Ajili mendengarkan saja, tak berani mengatakan kenyataan pada istrinya.
Ketika, anaknya yang baru berusia 5 tahun sangat rewel tak bersedia tidur, untuk pertama kalinya Ajili kehilangan kesabaran dan menamparnya. Sang anak sambil menangis berkata ”Kau ayah yang jahat, aku tak mau peduli kau lagi, aku tak ingin kau menjadi papaku”. Hati Ajili terpukul mendengarnya, ia pun memeluk erat-erat sang anak dan berkata “Maafkan papa, papa tak akan memukulmu lagi, papa yang salah, maafkan papa ya”. Sampai sini, Ajili pun tiba-tiba menangis. Sang anak terkejut, buru-buru berkata untuk menenangkan papanya “Baiklah, kumaafkan. Guruku bilang, anak yang baik adalah anak yang mau memperbaiki kesalahannya".
Malam itu, Ajili tak dapat terlelap, merasa dirinya bagaikan terbakar dalam neraka. Dimatanya selalu terbayang kejadian malam hujan deras itu, dan bayangan sang wanita. Ia sepertinya dapat mendengarkan jerit tangis wanita itu. Tak henti-hentinya ia bertanya pada dirinya sendiri “Aku ini sebenarnya orang baik, atau orang jahat". Hari berikutnya, ia hampir tak tahan lagi rasanya. Istrinya mulai merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya, memberikan perhatian padanya dengan menanyakan apakah ada masalah, dan ia mencari alasan tak enak badan untuk meloloskan dirinya.
Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat lagi terus diam saja, iapun menelepon Dr. Adely. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga suaranya supaya tetap tenang "Aku ingin mengetahui keadaan anak malang itu". Dr. Adely memberitahu "keadaan anak itu sangat parah, entahlah,.. apakah ia dapat menunggu hingga ayah kandungnya datang". Kalimat terakhir ini menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat seorang ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah dagingnya sendiri. Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Ia telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya meneruskan kesalahan ini.
Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk memberitahu sang istri tentang segala rahasianya. Terakhir ia berkata “Sangatlah mungkin bahwa aku adalah ayah Monika, Aku harus menyelamatkannya. Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya. Malam itu juga ia membawa ke 3 anak mereka pulang ke rumah orang tuanya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan orang tua tersebut segera mereda. Mereka adalah orang tua yang penuh pengalaman hidup maka mereka menasehatinya ”Memang benar, kita patut marah terhadap perbuatan Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu berpikir, untuk mengakui semua ini, diperlukan keberanian yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur. Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan tapi bersedia memperbaiki diri, atau suami yang selamanya menyimpan kebusukan didalamnya?” Mendengar itu Lina terpekur beberapa lama.
Pagi harinya ia langsung kembali ke sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan, Lina menetapkan hatinya dan berkata ”Ajili, pergilah menemui Dr. Adely, aku akan menemanimu!”
3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr. Adely.
8 Februari, Ajili dan istrinya tiba di RS Elisabeth untuk pemeriksaan DNA Ajili. Hasilnya Ajili adalah benar ayah biologis Monika. Ketika Martha mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani muncul, ia pun tak dapat menahan air matanya. 10 tahun ia terus memendam dendam terhadap Ajili, namun saat ini ia hanya dipenuhi perasaan terharu. Segalanya berlangsung dalam keheningan. Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS tidak mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.
Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati berita. Mereka terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr. Adely, memohon untuk dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus penghormatan mereka padanya. Mereka berpendapat ”Barangkali ia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan!”
10 Februari, Martha dan suaminya memohon untuk dapat bertemu muka dengan Ajili. Awalnya Ajili tak berani untuk menemui mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, iapun menyetujui hal ini.
18 Februari, dalam ruang tertutup yang dirahasiakan di RS, Ajili bertemu Martha. Saat ia melihat Martha, langkah kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat. Martha dan suaminya melangkah maju, dan mereka saling berjabat tangan, sesaat ke3 orang tersebut diam tanpa suara menahan kepedihan, sampai akhirnya air mata mereka yang berbicara. Beberapa saat kemudian, dengan suara serak Ajili berkata "Maaf...mohon maafkan aku, kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadamu". Martha menjawab ”Terima kasih kau datang, Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku”.
19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili dan hasilnya sangat cocok bagi Monika.
Sang dokter berkata dengan antusias : “Ini suatu keajaiban!”
22 Februari 2003, sekian lama harapan masyarakat luas akhirnya terkabulkan. Monika menerima donor sumsum tulang belakang dan telah melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika boleh keluar RS dengan sehat walafiat. Martha dan suami memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr. Adely datang ke rumah mereka untuk merayakannya. Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia memohon Dr. Adely membawa suratnya bagi mereka.
Dalam suratnya ia menyatakan penyesalannya "Aku tak ingin mengganggu ketenangan hidup kalian. Aku berharap Monika berbahagia selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian. Saat ini juga, aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia di separoh usiaku selanjutnya. Ini adalah hadiah yang ia berikan padaku"
Saturday, 16 April 2011 at 00:45
17 Mei 1992 di parkiran mobil Wayeli, seorang wanita kulit putih diperkosa oleh seorang kulit hitam. Tak lama kemudian, sang wanita melahirkan seorang bayi perempuan berkulit hitam. Ia dan suaminya harus bertanggung jawab untuk memelihara anak ini. Sayangnya, sang bayi kini menderita leukemia dan memerlukan donor sumsum tulang belakang.
Ayah kandungnya merupakan satu-satunya penyambung harapan hidupnya. Berharap agar sang pelaku pemerkosaan melihat berita ini, kemudian bersedia menghubungi Dr. Adely di RS Elisabeth. Berita pencarian ini membuat seluruh masyarakat gempar. Setiap orang membicarakannya. Masalahnya adalah apakah orang hitam ini berani muncul, karena jelas ia akan menghadapi kesulitan besar. Jika ia berani muncul, ia akan menghadapi masalah hukum, dan ada kemungkinan merusak kehidupan rumah tangganya sendiri. Jika ia tetap bersikeras untuk diam, ia sekali lagi membuat dosa yang tak terampuni.
Dibalik kisah seorang anak perempuan yang menderita leukimia ternyata menyimpan suatu kisah yang memalukan di suatu perkampungan Itali. Martha, 35 thn, adalah wanita yang menjadi pembicaraan semua orang. Ia dan suaminya, Peterson adalah warga kulit putih, tetapi di antara ke 2 orang anaknya, ternyata terdapat seorang anak yang berkulit hitam. Hal ini menarik perhatian setiap orang untuk bertanya, Martha hanya tersenyum kecil berkata pada mereka bahwa neneknya berkulit hitam, dan kakeknya berkulit putih, maka anaknya Monika mendapat kemungkinan seperti ini.
Musim gugur 2002, Monika yang berkulit hitam terus menerus mengalami demam tinggi. Terakhir, Dr. Adely memvonis Monika menderita leukimia. Harapan satu-satunya hanyalah mencari pedonor sumsum tulang belakang yang paling cocok untuknya. Dokter menjelaskan lebih lanjut. Diantara mereka yang ada hubungan darah dengan Monika, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan pedonor tercocok. "Harap seluruh anggota keluarga kalian berkumpul untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang".
Raut wajah Martha berubah, tapi tetap saja seluruh keluarga menjalani pemeriksaan. Hasilnya tak satupun yang cocok. Dokter memberitahu mereka, dalam kasus seperti Monika ini, mencari pedonor yang cocok sangatlah kecil kemungkinannya. Sekarang hanya ada satu cara yang paling manjur, yaitu Martha mengandung dan melahirkan anak lagi sehingga bayinya dapat mendonor untuk Monika. Mendengar usul ini Martha tiba-tiba menjadi panik, dan berkata tanpa suara, "Tuhan... kenapa jadi begini?"
Ia menatap suaminya, sinar matanya dipenuhi ketakutan dan putus asa. Peterson mengerutkan keningnya berpikir. Dr. Adely menjelaskan pada mereka, saat ini banyak orang yang menggunakan cara ini untuk menolong nyawa para penderita leukimia, lagi pula cara ini aman terhadap bayi yang baru dilahirkan. Pasangan suami istri tersebut hanya mendengarkan dan termenung begitu lama. Akhirnya mereka hanya berkata, "kami akan memikirkannya kembali."
Besoknya, ketika Dr. Adely sedang bertugas, datanglah pasangan suami-istri tersebut. Martha menggigit bibirnya keras, Peterson menggenggam tangannya, dan berkata serius pada dokter. Ada suatu hal yang perlu kami beritahu. Tapi harap Anda berjanji untuk menjaga rahasia ini, karena ini merupakan rahasia kami suami-istri selama beberapa tahun. Dr. Adely menganggukkan kepalanya.
10 tahun lalu, bulan Mei tahun 1992. Waktu itu anak kami yang pertama, Eleana berusia 2 tahun. Martha bekerja di sebuah restoran fast food, jam 11 malam baru pulang kerja. Malam itu, turun hujan lebat, saat Martha pulang kerja, jalanan sudah sepi. Ketika melalui parkiran yang tak terpakai lagi, Martha mendengar suara langkah kaki, dengan ketakutan ia melihat, seorang remaja berkulit hitam tengah berdiri di belakang tubuhnya. Orang itu menggunakan sepotong kayu, memukulnya hingga pingsan dan memperkosanya.
Saat Martha sadar sudah jam 2 dini hari, tergesa-gesa ia pulang menuju rumahnya. Waktu itu Martha seperti orang gila mencari orang hitam tsb untuk membuat perhitungan, tapi tak ada satupun bayangan orang . Malam itu kami hanya dapat berpelukan menahan kepedihan. Sepertinya seluruh langit runtuh. Bicara sampai sini, Peterson telah dibanjiri air mata, Ia melanjutkan kembal. Tak lama kemudian Martha hamil. Kami merasa sangat ketakutan, kuatir bila anak yang dikandungnya merupakan milik orang hitam tersebut. Martha berencana untuk menggugurkannya, tapi aku masih mengharapkan keberuntungan, mungkin anak yang dikandung adalah bayi kami. Begitulah, kami ketakutan menunggu beberapa bulan.
Maret 1993, Martha melahirkan bayi perempuan berkulit hitam. Kami begitu putus asa, pernah terpikir untuk mengirim sang anak ke panti asuhan. Tapi mendengar suara tangisnya, kami sungguh tak tega. Terlebih lagi bagaimanapun Martha telah mengandungnya, ia juga merupakan sebuah nyawa. Aku dan Martha merupakan umat Kristen yang taat, akhirnya kami memutuskan untuk merawatnya, dan memberinya nama Monika.
Mata Dr. Adely digenangi air mata, ia memahami kenapa bagi suami istri ini, mengandung anak merupakan hal yang tidak mungkin. Ia berpikir sambil mengangguk-anggukkan kepala kemudian berkata "jika demikian, kalian melahirkan 10 anak sekalipun sulit untuk mendapatkan donor yang cocok untuk Monika". Beberapa lama kemudian, ia memandang Martha dan berkata "kelihatannya, kalian harus mencari ayah kandung Monika. Barangkali sumsum tulangnya, atau sumsum tulang belakang anaknya ada yang cocok untuk Monika. Tetapi, apakah kalian bersedia membiarkan ia kembali muncul dalam kehidupan kalian?" Martha berkata “Demi anakku, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Bila ia bersedia muncul menyelamatkan Monika, aku tak akan memperkarakannya." Dr. Adely terharu betapa dalam cinta sang ibu.
Martha dan Peterson sudah mempertimbangkannya baik-baik, sebelum akhirnya memutuskan memuat berita pencarian ini di koran dengan menggunakan nama samaran.
November 2002, koran Wayeli memuat berita pencarian ini, seperti yang digambarkan sebelumnya. Berita ini memohon sang pelaku pemerkosaan berani muncul, demi untuk menolong sebuah nyawa seorang anak perempuan penderita leukimia! Begitu berita ini keluar, tanggapan masyarakat begitu menggemparkan. Kotak surat dan telepon Dr. Adely bagaikan meledak saja, kebanjiran surat masuk dan telepon, orang-orang terus bertanya siapakah wanita itu, mereka ingin bertemu dengannya, berharap dapat memberikan bantuan padanya. Tetapi Martha menolak semua perhatian mereka, ia tak ingin mengungkapkan identitas sebenarnya, terlebih lagi identitas Monika sebagai anak hasil pemerkosaan terungkap. Saat itu seluruh media penuh dengan diskusi tentang bagaimana cerita ini berakhir.
( Surat kabar Roma ) menulis: Akan munculkah orang berkulit hitam itu? Jika berani muncul, akan bagaimanakah masyarakat akan menilainya. Akankah menggunakan hukum yang berlaku untuk menghakiminya. Haruskah ia menerima hukuman dan cacian karena masa lalunya, ataukah ia harus menerima pujian karena keberaniannya.
( Surat kabar Wayeli ) menulis: Bila anda orang berkulit hitam itu, apa tindakan yang anda lakukan? sebagai bahan diskusi. Dan menarik berbagai pendapat akan sulitnya berada di dua pilihan ini.
Bagian penjara setempat terus berupaya membantu Martha, memberikan laporan terpidana hukuman pada tahun 1992 pada RS. Dikarenakan jumlah orang berkulit hitam di kota ini hanya sedikit, maka dalam 10 tahun terakhir ini juga hanya sedikit jumlah terhukum berkulit hitam. Mereka berkata pada Martha sekalipun beberapa orang bukanlah terhukum karena tindak perkosaan, tapi mungkin beberapa juga menemui hal seperti ini.
Beberapa orang ini juga sebagian telah keluar penjara. Martha dan Peterson menghubungi beberapa orang ini, begitu banyak terpidana waktu itu yang bersungguh-sungguh dan antusias untuk memberikan petunjuk. Tapi sayangnya, mereka semua bukanlah orang hitam yang memperkosanya. Tak lama kemudian, kisah Martha menyebar ke seluruh rumah tahanan, tak sedikit terpidana yang tergerak karena kasih ibu ini, tak peduli mereka berkulit hitam maupun berkulit putih, mereka semua bersukarela mendaftar untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, berharap dapat mendonorkannya untuk Monika. Tapi tak satupun pedonor yang memenuhi kriteria.
Berita pencarian ini mengharukan banyak orang, tak sedikit orang yang bersukarela untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, untuk mengetahui apakah dirinya memenuhi kriteria. Para sukarelawan semakin lama semakin bertambah, di Wayeli timbullah wabah untuk mendonorkan sumsum tulang belakang. Hal yang mengejutkan adalah kesediaan para sukarelawan ini menyelamatkan banyak penderita leukimia lainnya, sayangnya Monika tak termasuk diantara mereka yang beruntung.
Martha dan Peterson dengan gelisah menantikan kemunculan si kulit hitam. Akhirnya dua bulan telah lewat, orang ini tak muncul-muncul juga. Dengan tidak tenang, mereka mulai berpikir, mungkin orang itu telah meninggall dunia, mungkin juga telah meninggalkan kampung halamannya, mungkin ia tak bersedia merusak kehidupannya sendiril.
Tak peduli bagaimanapun, asalkan Monika hidup sehari lagi, mereka tak rela untuk melepaskan harapan untuk mencari orang hitam itu. Disaat jiwa merana tak menentu, harapan disaat keputusasaan kembali muncul. Saat itu berita pencarian juga muncul di Napulese, memporakporandakan perasaan seorang pengelola toko minuman keras berusia 30 tahun. Ia seorang kulit hitam, bernama Ajili. Ia adalah pemeran utama dalam kisah ini. Tak seorangpun menyangka, Ajili yang sangat kaya raya itu pernah bekerja sebagai pencuci piring. Orang tuanya telah meninggal sejak ia masih muda, ia tak pernah mengenyam dunia pendidikan dan terpaksa harus bekerja. Ia pandai dan cekatan, bekerja dengan giat demi mendapatkan uang dan penghargaan dari orang lain. Tapi sialnya, bosnya merupakan seorang rasialis, yang selalu mendiskriminasikannya. Tak peduli segiat apapun dirinya, selalu memukul dan memakinya.
17 Mei 1992, merupakan ulang tahunnya ke 20, ia berencana untuk pulang kerja lebih awal merayakan hari ulang tahunnya. Siapa menyangka, ditengah kesibukan ia memecahkan sebuah piring. Sang bos menahan kepalanya, memaksanya untuk menelan pecahan piring. Ajili begitu marah dan memukul sang bos, lalu berlari keluar meninggalkan restoran. Ditengah kemarahannya ia bertekad untuk membalas dendam pada si kulit putih. Malam itu hujan lebat, tiada seorangpun lewat, dan di parkiran ia bertemu Martha. Untuk membalaskan dendamnya akibat pendiskriminasian, ia pun memperkosa sang wanita yang tak berdosa ini. Tapi selesai melakukannya, Ajili mulai panik dan ketakutan.
Malam itu juga ia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket KA menuju Napulese, meninggalkan kota ini. Di Napulese, ia bertemu keberuntungannya. Ajili mendapatkan pekerjaan dengan lancar di restoran milik orang Amerika. Kedua pasangan Amerika ini sangatlah mengagumi kemampuannya, dan menikahkannya dengan anak perempuan mereka, Lina, juga mempercayainya untuk mengelola toko mereka. Beberapa tahun ini, ia yang begitu tangkas, tak hanya memajukan bisnis toko minuman keras ini, ia juga memiliki 3 anak yang lucu.
Dimata pekerja lainnya dan seluruh anggota keluarga, Ajili merupakan bos, suami dan ayah yang baik. Tapi hati nuraninya tetap membuatnya tak melupakan dosa yang pernah diperbuatnya. Ia selalu memohon ampun pada Tuhan dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya hidup damai dan tentram. Tapi ia menyimpan rahasianya rapat-rapat, tak memberitahu seorangpun.
Pagi hari itu, Ajili berkali-kali membolak-balik koran, ia terus mempertimbangkan kemungkinan dirinyalah pelaku yang dimaksud. Sedikitpun ia tak pernah membayangkan bahwa wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan menanggung tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga anak yang awalnya bukanlah miliknya.
Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menelpon Dr. Adely, tapi belum selesai menekan tombol nomor, ia sudah menutupnya kembali. Hatinya terus bertentangan, bila ia bersedia mengakui semuanya, setiap orang kelak akan mengetahui sisi terburuknya, anak-anaknya tak akan lagi mencintainya, ia akan kehilangan keluarganya yang bahagia dan istrinya yang cantik. Juga akan kehilangan penghormatan masyarakat disekitarnya. Semua yang ia dapatkan dengan kerja keras bertahun-tahun.
Malam itu, saat makan bersama, seluruh keluarga mendiskusikan kasus Martha. Sang istri berkata “Aku sangat mengagumi Martha, bila aku diposisinya, tak akan memiliki keberanian untuk memelihara anak hasil perkosaan hingga dewasa. Aku lebih mengagumi lagi suami Martha, ia sungguh pria yang patut dihormati, tak disangka ia dapat menerima anak tsb”. Ajili termenung mendengarkan pendapat istrinya, tiba-tiba mengajukan pertanyaan "Kalau begitu, bagaimana kau memandang pelaku pemerkosaan itu?"
"Sedikitpun aku tak akan memaafkannya, waktu itu ia sudah berbuat kesalahan, kali ini juga hanya dapat meringkuk menyelingkupi dirinya sendiri, ia benar-benar rendah, egois, pengecut" demikian istrinya menjawab dengan api kemarahan. Ajili mendengarkan saja, tak berani mengatakan kenyataan pada istrinya.
Ketika, anaknya yang baru berusia 5 tahun sangat rewel tak bersedia tidur, untuk pertama kalinya Ajili kehilangan kesabaran dan menamparnya. Sang anak sambil menangis berkata ”Kau ayah yang jahat, aku tak mau peduli kau lagi, aku tak ingin kau menjadi papaku”. Hati Ajili terpukul mendengarnya, ia pun memeluk erat-erat sang anak dan berkata “Maafkan papa, papa tak akan memukulmu lagi, papa yang salah, maafkan papa ya”. Sampai sini, Ajili pun tiba-tiba menangis. Sang anak terkejut, buru-buru berkata untuk menenangkan papanya “Baiklah, kumaafkan. Guruku bilang, anak yang baik adalah anak yang mau memperbaiki kesalahannya".
Malam itu, Ajili tak dapat terlelap, merasa dirinya bagaikan terbakar dalam neraka. Dimatanya selalu terbayang kejadian malam hujan deras itu, dan bayangan sang wanita. Ia sepertinya dapat mendengarkan jerit tangis wanita itu. Tak henti-hentinya ia bertanya pada dirinya sendiri “Aku ini sebenarnya orang baik, atau orang jahat". Hari berikutnya, ia hampir tak tahan lagi rasanya. Istrinya mulai merasakan adanya ketidakberesan pada dirinya, memberikan perhatian padanya dengan menanyakan apakah ada masalah, dan ia mencari alasan tak enak badan untuk meloloskan dirinya.
Setelah berhari-hari memeriksa hati nuraninya, Ajili tak dapat lagi terus diam saja, iapun menelepon Dr. Adely. Ia berusaha sekuat tenaga menjaga suaranya supaya tetap tenang "Aku ingin mengetahui keadaan anak malang itu". Dr. Adely memberitahu "keadaan anak itu sangat parah, entahlah,.. apakah ia dapat menunggu hingga ayah kandungnya datang". Kalimat terakhir ini menyentuh hati Ajili yang paling dalam, suatu perasaan hangat seorang ayah mengalir keluar, bagaimanapun anak itu juga merupakan darah dagingnya sendiri. Ia pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Ia telah melakukan kesalahan sekali, tak boleh kembali membiarkan dirinya meneruskan kesalahan ini.
Malam hari itu juga, ia pun mengobarkan keberaniannya sendiri untuk memberitahu sang istri tentang segala rahasianya. Terakhir ia berkata “Sangatlah mungkin bahwa aku adalah ayah Monika, Aku harus menyelamatkannya. Lina sangat terkejut, marah dan terluka, mendengar semuanya. Malam itu juga ia membawa ke 3 anak mereka pulang ke rumah orang tuanya. Ketika ia memberitahu mereka tentang kisah Ajili, kemarahan orang tua tersebut segera mereda. Mereka adalah orang tua yang penuh pengalaman hidup maka mereka menasehatinya ”Memang benar, kita patut marah terhadap perbuatan Ajili di masa lalu. Tapi pernahkah kamu berpikir, untuk mengakui semua ini, diperlukan keberanian yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa hati nuraninya belum sepenuhnya terkubur. Apakah kau mengharapkan seorang suami yang pernah melakukan kesalahan tapi bersedia memperbaiki diri, atau suami yang selamanya menyimpan kebusukan didalamnya?” Mendengar itu Lina terpekur beberapa lama.
Pagi harinya ia langsung kembali ke sisi Ajili, menatap mata sang suami yang dipenuhi penderitaan, Lina menetapkan hatinya dan berkata ”Ajili, pergilah menemui Dr. Adely, aku akan menemanimu!”
3 Februari 2003, suami istri Ajili, menghubungi Dr. Adely.
8 Februari, Ajili dan istrinya tiba di RS Elisabeth untuk pemeriksaan DNA Ajili. Hasilnya Ajili adalah benar ayah biologis Monika. Ketika Martha mengetahui bahwa orang hitam pemerkosanya itu pada akhirnya berani muncul, ia pun tak dapat menahan air matanya. 10 tahun ia terus memendam dendam terhadap Ajili, namun saat ini ia hanya dipenuhi perasaan terharu. Segalanya berlangsung dalam keheningan. Demi untuk melindungi pasangan Ajili dan pasangan Martha, pihak RS tidak mengungkapkan dengan jelas identitas mereka semua pada media, dan juga tak bersedia mengungkapkan keadaan sebenarnya, mereka hanya memberitahu media bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.
Berita ini mengejutkan seluruh pemerhati berita. Mereka terus-menerus menelepon, menulis surat pada Dr. Adely, memohon untuk dapat menyampaikan kemarahan mereka pada orang hitam ini, sekaligus penghormatan mereka padanya. Mereka berpendapat ”Barangkali ia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini ia seorang pahlawan!”
10 Februari, Martha dan suaminya memohon untuk dapat bertemu muka dengan Ajili. Awalnya Ajili tak berani untuk menemui mereka, namun pada permohonan ketiga Martha, iapun menyetujui hal ini.
18 Februari, dalam ruang tertutup yang dirahasiakan di RS, Ajili bertemu Martha. Saat ia melihat Martha, langkah kakinya terasa sangatlah berat, raut wajahnya memucat. Martha dan suaminya melangkah maju, dan mereka saling berjabat tangan, sesaat ke3 orang tersebut diam tanpa suara menahan kepedihan, sampai akhirnya air mata mereka yang berbicara. Beberapa saat kemudian, dengan suara serak Ajili berkata "Maaf...mohon maafkan aku, kalimat ini telah terpendam dalam hatiku selama 10 tahun. Hari ini akhirnya aku mendapat kesempatan untuk mengatakannya langsung kepadamu". Martha menjawab ”Terima kasih kau datang, Tuhan memberkati, sehingga sumsum tulang belakangmu dapat menolong putriku”.
19 Februari, dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili dan hasilnya sangat cocok bagi Monika.
Sang dokter berkata dengan antusias : “Ini suatu keajaiban!”
22 Februari 2003, sekian lama harapan masyarakat luas akhirnya terkabulkan. Monika menerima donor sumsum tulang belakang dan telah melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika boleh keluar RS dengan sehat walafiat. Martha dan suami memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili dan Dr. Adely datang ke rumah mereka untuk merayakannya. Tapi hari itu Ajili tidak hadir, ia memohon Dr. Adely membawa suratnya bagi mereka.
Dalam suratnya ia menyatakan penyesalannya "Aku tak ingin mengganggu ketenangan hidup kalian. Aku berharap Monika berbahagia selalu hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan bagaimanapun, harap hubungi aku, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu kalian. Saat ini juga, aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam, dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia di separoh usiaku selanjutnya. Ini adalah hadiah yang ia berikan padaku"
Saturday, 16 April 2011 at 00:45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar