senyum itu mengiringi sapanya saat kami bertemu kembali di sebuah bioskop yang cukup jauh jaraknya dari lokasi mengajarku dulu. sapanya yang masih penuh hormat itu terasa aneh dengan posisi tangannya yang mengamit pundak seorang anak kecil yang lucu.
"eh bapak, lama gak ketemu yah," katanya membuka percakapan.
"eh iya," kataku sambil merabai memoriku akan siapa yang berdiri di hadapanku.
"saya pak, rizka," katanya manja.
rizka-rizka-rizka rabaku mencari layaknya tampilan mode search di windows...., "oh, rizkanya sidiq?"
ups, mengapa jadi nama pacar gadis itu yang kuucapkan untuk menandainya.
"hahaha, iya pak, ini dia sidiq junior," katanya memperkenalkan pria mungil yang berdiri di hadapannya.
"kalian masih bersama, hahaha...," seruku menyimpulkan sebuah hasil memindai memori dalam waktu singkat.
dia tersenyum lagi, masih mendamaikan, tapi ada sedikit mimik yang berubah pucat. rizka adalah siswa yang beberapa tahun lalu ada di kelas tempatku mengajar sebagai murid yang patut diteladani. ia sempurna dalam segala pencapaian dalam bidang studi yang kuajar.
cerpen tulisannya menginspirasi, walau kesan pop ala remaja mewarnai. dia bisa begitu galak ketika berorasi, namun juga bisa memainkan karakter lembut dalam drama kelompoknya saat ujian praktik dulu. tulisan tangannya rapih, pun segala tugas terselesaikan dengan predikat "maksimal", tak seadanya layaknya mereka yang tak tertarik sajianku di ruang kelas.
akan halnya pergaulannya, inilah yang cukup mengejutkan. rizka adalah seorang gadis supel yang punya dan bisa berada pada pergaulan kelas atas. untuk hadir di kumpulan gadis modis ia mampu, tak kurang pula dalam kumpulan anak-anak orang berada, gayanya yang humoris walau tak berlebihan juga mewajarkan dia pada posisi orang yang banyak disukai.
bila saja aku masih duduk sebagai siswa di masa dia sekolah itu, pastilah aku minder untuk bersahabat dengannya. bukan apa-apa, rasanya sulit untuk mengimbanginya berbicara ataupun sekadar bercerita, apalagi untuk berada di level pergaulan dengannya. beruntung, nasibku yang duduk sebagai guru di sekolahnya membuat dialah yang hadus berusaha lebih banyak membuka tegur sapa sebagai bagian pembelajaran akhlaknya dalam menghargai orang.
"hebat benar hubungan kalian, bisa langgeng hingga memiliki jagoan kecil ini," kataku seraya menanyakan nama pria mungil itu.
kembali pikiranku menerawang kala kutahu rizka si gadis sempurna itu dekat dengan sidiq yang begitu kekanak-kanakan.
sidiq memang bukan pemuda miskin yang akhirnya dicintai gadis kaya semodel cerita "cinderela lanang" di sinetron kelas kacang goreng yang marak saat itu. bukan pula pemuda tolol yang secara tak sengaja digilai bidadari jelita atau pun pemuda alim yang berhasil menaklukkan hati gadis glamor. sungguh itu hanya cerita basi dalam sinetron dan film yang mencontek ribuan cerita sejenis dari luar negeri.
sidiq adalah anak yang cukup pandai, namun kepandaian itu tak membuatnya berusaha untuk jadi nomor satu, buatku.... sidiq begitu berusaha hanya untuk tidak jadi yang terbelakang dalam pencapaian, namun hasilnya kadang bisa agak lumayan. dia bisa berperan sesuai harapan dalam masa didiknya, tetapi tak terlalu heboh dan memaksakan diri dalam berupaya lebih. yah.... cukup-cukupan saja. ia tidak bandel, tapi juga bukan teladan (mungkin karena sikapnya tadi), tidak rupawan, walau juga tidak buruk rupa, bukan atlet atau artis sekolah pula, walau kutahu ia berbakat dalam sepakbola dan teater. singkat kata, sidiq adalah pemuda biasa-biasa saja di sekolah itu.
tak ada perbedaan kontras antara rizka maupun sidiq, namun sedikit aneh buat kami para guru kala seorang gadis yang bisa dibilang bintang, suara, dan bunga sekolah akhirnya mengisi lembar cerita kehidupan masa remajanya dengan seorang yang biasa saja. semua memang berjalan biasa saja kemudian.
pembicaraan
kami terputus tepat saat mercy putri sulungku berteriak memanggil untuk
masuk studio tempat film yang sudah kupegang karcisnya itu karena
pertunjukan segera dimulai.
"kenalkan, ini merci putri saya, dan ini istri saya," ujarku saat istriku pun berjalan mendekat.
mereka bersalaman dan kemudian kami berpisah.
malamnya aku kembali diajak bernostalgia, kubuka kembali buku-buku kenangan angkatan demi angkatan yang sengaja kukumpulkan dengan meminta pada petugas perpustakaan sekolah.
riska-sidiq-rizka-sidiq, angkatan yang manakah mereka? tahun 2010, 2009, hingga 1999 kucermati, tapi tak kutemui. kuurutkan buku-buku itu, ups... ke mana buku angkatan 2000? tidak ada, jangan-jangan memang tidak punya. kuaduk-aduk buku yang ada di rak itu. hmm... biarlah, memang tak ada.
esoknya aku bertekad untuk melihat buku besar sekolah di ruang tata usaha, namun sial rasa penasaranku harus kuredam karena ada rapat mgmp serayon di sma sebelah. sesudah mgmp itu, akupun melupakan penasaranku akan rizka-sidiq karena rasa lelah, yang kemudian disusul dengan tumpukan tugas mengolah nilai siswa dan membenahi silabus baru untuk mengejar skl tahun ajaran mendatang.
lama tak kuurai lagi niat menggali cerita si gadis sempurna rizka hingga hari itu siswaku bertanya tentang puisi hamid jabar yang ada dalam sebuah halaman buku kenangan di tahun 2000.
sesaat aku bercerita tentang budayawan yang meregang nyawanya di panggung itu sejauh yang kuketahui.
kala pelajaran berakhir kupinjam buku itu yang katanya bahan referensi anak osis untuk buku tahunan angkatan berikutnya. baru kubuka halaman awal, aku langsung larut pada masa itu.
kutemukan nama itu berjajar di absen kelas 3 ips 1, rizka maharani, sidiq nurachman, dan tohir. tohir? yah, nama ini juga punya cerita.
ternyata mereka memang dari angkatan ini. sungguh kebetulan ketika buku kenangan yang hilang di rak ruang kerja di rumahku adalah buku kenangan tentang mereka.
bergegas aku menuju komputer di ruang guru dan log in pada sebuah akun facebook. oke, mari kita lihat!
"kenalkan, ini merci putri saya, dan ini istri saya," ujarku saat istriku pun berjalan mendekat.
mereka bersalaman dan kemudian kami berpisah.
malamnya aku kembali diajak bernostalgia, kubuka kembali buku-buku kenangan angkatan demi angkatan yang sengaja kukumpulkan dengan meminta pada petugas perpustakaan sekolah.
riska-sidiq-rizka-sidiq, angkatan yang manakah mereka? tahun 2010, 2009, hingga 1999 kucermati, tapi tak kutemui. kuurutkan buku-buku itu, ups... ke mana buku angkatan 2000? tidak ada, jangan-jangan memang tidak punya. kuaduk-aduk buku yang ada di rak itu. hmm... biarlah, memang tak ada.
esoknya aku bertekad untuk melihat buku besar sekolah di ruang tata usaha, namun sial rasa penasaranku harus kuredam karena ada rapat mgmp serayon di sma sebelah. sesudah mgmp itu, akupun melupakan penasaranku akan rizka-sidiq karena rasa lelah, yang kemudian disusul dengan tumpukan tugas mengolah nilai siswa dan membenahi silabus baru untuk mengejar skl tahun ajaran mendatang.
lama tak kuurai lagi niat menggali cerita si gadis sempurna rizka hingga hari itu siswaku bertanya tentang puisi hamid jabar yang ada dalam sebuah halaman buku kenangan di tahun 2000.
sesaat aku bercerita tentang budayawan yang meregang nyawanya di panggung itu sejauh yang kuketahui.
kala pelajaran berakhir kupinjam buku itu yang katanya bahan referensi anak osis untuk buku tahunan angkatan berikutnya. baru kubuka halaman awal, aku langsung larut pada masa itu.
kutemukan nama itu berjajar di absen kelas 3 ips 1, rizka maharani, sidiq nurachman, dan tohir. tohir? yah, nama ini juga punya cerita.
ternyata mereka memang dari angkatan ini. sungguh kebetulan ketika buku kenangan yang hilang di rak ruang kerja di rumahku adalah buku kenangan tentang mereka.
bergegas aku menuju komputer di ruang guru dan log in pada sebuah akun facebook. oke, mari kita lihat!
menjadi
guru itu mirip pemain sepakbola. periode kerja kami dimulai di paruh
kedua sebuah tahun, dan tentu berakhir setelah 12 bulan. setiap tahun
ajaran mirip bunyinya dengan musim kompetisi sepakbola di eropa, lihat
saja 2007-2008, 2008-2009, atau
2009-2010. beda memang dengan musim kompetisi sepakbola di negeri ini
yang seenak udel para pengurus induk organisasinya yang kabarnya seorang
eksnarapidana. setiap tahun ajaran baru selalu ada guru baru yang bak
pemain baru dalam klub sepakbola, dalam beberapa periode bisa ada
pergantian kepala sekolah layaknya pergantian pelatih. beda kepala
sekolah beda kebijakan, pun bila beda pelatih. maka itu selalu ada hal
baru setiap tahun, termasuk murid yang masuk dan yang lulus, yang kadang
membuat memori yang begitu indah sekalipun dengan cerita pada beberapa
angkatan terkubur di bawah cerita angkatan berikutnya yang masuk untuk
diajar.
selain pertemuan di bioskop itu, sesungguhnya ada cerita spesial yang mungkin membuatku bisa lebih cepat membuka memori bawah sadarku untuk kembali ke sosok berdua itu.
saat itu mereka masih duduk di kelas 1 sma. akupun masih punya banyak hubungan dengan pusat-pusat kebudayaan lantaran pernah ditugasi semasa kuliah dulu ke tempat-tempat itu. dari salah satu pusat kebudayaan aku mendapat informasi tentang lomba monolog sastra tingkat sma di kota kami. sebagai guru baru di sekolah itu, karena baru mencoba pengalaman baru di tempat yang kupikir berpenghasilan lebih dari sebelumnya, aku tak terlalu tahu tentang info lomba-lomba sekolah. sungkan bagiku untuk bertanya pada guru senior yang beberapa di antaranya bersikap ketus dan pandang enteng. maka ketika ada info lomba itu, aku bertekad menyeleksi sendiri murid-muridku untuk diikutsertakan tanpa melewati sekolah dan guru-guru lain. dan seperti dugaan anda, saya memilih lima orang siswa untuk kemudian saya minta berlatih dengan bimbingan saya, dua dari mereka adalah rizka dan sidiq. lainnya ada junaedi, eha, dan tohir.
kami berlatih sepulang sekolah di sebuah ruang kelas tanpa izin sekolah.
selain pertemuan di bioskop itu, sesungguhnya ada cerita spesial yang mungkin membuatku bisa lebih cepat membuka memori bawah sadarku untuk kembali ke sosok berdua itu.
saat itu mereka masih duduk di kelas 1 sma. akupun masih punya banyak hubungan dengan pusat-pusat kebudayaan lantaran pernah ditugasi semasa kuliah dulu ke tempat-tempat itu. dari salah satu pusat kebudayaan aku mendapat informasi tentang lomba monolog sastra tingkat sma di kota kami. sebagai guru baru di sekolah itu, karena baru mencoba pengalaman baru di tempat yang kupikir berpenghasilan lebih dari sebelumnya, aku tak terlalu tahu tentang info lomba-lomba sekolah. sungkan bagiku untuk bertanya pada guru senior yang beberapa di antaranya bersikap ketus dan pandang enteng. maka ketika ada info lomba itu, aku bertekad menyeleksi sendiri murid-muridku untuk diikutsertakan tanpa melewati sekolah dan guru-guru lain. dan seperti dugaan anda, saya memilih lima orang siswa untuk kemudian saya minta berlatih dengan bimbingan saya, dua dari mereka adalah rizka dan sidiq. lainnya ada junaedi, eha, dan tohir.
kami berlatih sepulang sekolah di sebuah ruang kelas tanpa izin sekolah.
latihan
itu menemui hambatan saat pihak sekolah bertanya tentang kegiatan kami.
walau tidak ada keluhan dari orangtua siswa-siswa itu, beberapa aparat
sekolah bertanya-tanya tentang kegiatan latihan oleh guru baru saat itu.
berbeda dengan saat sekarang ini di
mana siswa diizinkan berlama-lama di sekolah selama ada kegiatan yang
positif, masa itu yang memaksa sekolah dibagi dua shif karena
keterbatasan jumlah kelas mungkin menjadi sebabnya.
memonologkan cerpen memang belum familiar di masa itu, tampilan selama latihan juga lebih terlihat bak keanehan ketimbang menarik jadi sebuah pertunjukan. jangankan mereka yang melihat kami berlatih, kelima murid yang kulatih saja tertawa terbahak tanpa menghormati upaya saya ketika mencontohkan sebuah monolog, memang di mata mereka berkesenian banyak disangka hanya keisengan belaka. namun pada akhirnya mereka tertarik dengan monolog itu, bahkan berkembang menjadi kelompok teater sekolah setelah perlombaan yang kucanangkan jadi muara dari pelatihan itu.
aku dipanggil kepala sekolah dan diajari tentang tata krama membawa murid "ke luar" sekolah. aku pun ditatar tentang penghormatan dan penghargaan terhadap pengalaman para senior di sana. aku memahami dan berjanji bahwa pelatihan itu kulakukan karena aku melihat potensi berprestasi di ajang itu. setelah semua tataran itu, aku makin bersemangat mempersiapkan kelima siswaku ikut lomba monolog itu. kali ini dengan bantuan perbekalan pihak sekolah tentunya, walau disunat dari jumlah yang kutandatangani dan jumlah yang kuterima.
siswa-siswaku itu juga kucekoki masalah kesastraan yang kutahu, tak semata isi dan muatan bahan monolog yang mereka lafalkan. cerita-cerita di balik karya-karya yang kuperkenalkan juga kuurai sebanyak kutahu. singkat cerita, kami siap!
memonologkan cerpen memang belum familiar di masa itu, tampilan selama latihan juga lebih terlihat bak keanehan ketimbang menarik jadi sebuah pertunjukan. jangankan mereka yang melihat kami berlatih, kelima murid yang kulatih saja tertawa terbahak tanpa menghormati upaya saya ketika mencontohkan sebuah monolog, memang di mata mereka berkesenian banyak disangka hanya keisengan belaka. namun pada akhirnya mereka tertarik dengan monolog itu, bahkan berkembang menjadi kelompok teater sekolah setelah perlombaan yang kucanangkan jadi muara dari pelatihan itu.
aku dipanggil kepala sekolah dan diajari tentang tata krama membawa murid "ke luar" sekolah. aku pun ditatar tentang penghormatan dan penghargaan terhadap pengalaman para senior di sana. aku memahami dan berjanji bahwa pelatihan itu kulakukan karena aku melihat potensi berprestasi di ajang itu. setelah semua tataran itu, aku makin bersemangat mempersiapkan kelima siswaku ikut lomba monolog itu. kali ini dengan bantuan perbekalan pihak sekolah tentunya, walau disunat dari jumlah yang kutandatangani dan jumlah yang kuterima.
siswa-siswaku itu juga kucekoki masalah kesastraan yang kutahu, tak semata isi dan muatan bahan monolog yang mereka lafalkan. cerita-cerita di balik karya-karya yang kuperkenalkan juga kuurai sebanyak kutahu. singkat cerita, kami siap!
siap di peserta lomba kadang
beda dengan siapnya panitia lomba. dengan publikasi di sebuah sanggar
seni, kupikir panitia pun diisi oleh para budayawan, salah! yang ada dui
hadapanku ternyata hanya beberapa guru yang sengaja ditunjuk menjadi guru yang sangat tidak kompeten.
betapa sedihnya diri dan anak-anak yang disaiapkan kala mereka gagal di babak penyisihan hanya karena mereka siswa sekolah swasta. percaya atau tidak, jelas kudapati para juri itu hanya menilai para peserta asal-asalan, di antaranya penjurian dilakukan sambil bertelepon via telepon seluler yang masih mewah saat itu. rasanya para juri itu hanya berharap acara cepat selesai karena mereka hanya menjalankan formalitas. saat pengumuman yang lolos disampaikan, langsung kuajak semua siswa binaanku pulang karena tak satu pun dari mereka ada di daftar itu. padahal, saat kusaksikan sendiri jalannya penyisihan, terbuncah harapan besar melihat penampilan siswa selain siswaku yang seadanya. dan entah kenapa, daftar nama peserta babak final hanya diisi siswa dari sekolah negeri tempat para juri itu mengabdi.
pelajaran pertama tentang hebatnya hubungan kekerabatan dan kepentingan kuceritakan pada mereka, para siswaku, dalam perjalanan pulang, sebagai salah satu ironi kehidupan. beberapa nasihat penyemangat juga coba kuurai. mereka kecewa, untungnya..., bukan kepadaku. selepas lomba itu kami masih sering berkumpul, bahkan kemudian bebrapa siswa lainnya bergabung untuk menjadi sebuah kelompok kesenian sekolah yang kami namai "teater tegar", yang di tahun ajaran berikutnya kudaftarkan ke pihak sekolah dan kuajukan ke pembina osis untuk diterima sebagai sebuah kegiatan ekstra kulikuler.
teater jelas kalah peminat dibanding ektra kulikuler populer kala itu semisal basket, sepakbola, voli, bulutangkis, drum band, atau pemandu sorak, namun tak menyurutkan langkah tuk sekedar berkesenian. bila kuingat saat itu, tak ada kegiatan futsal yang begitu menjamur saat ini, bahkan futsal tak dikenal saat itu, hahahaha, zaman memang telah berubah.
betapa sedihnya diri dan anak-anak yang disaiapkan kala mereka gagal di babak penyisihan hanya karena mereka siswa sekolah swasta. percaya atau tidak, jelas kudapati para juri itu hanya menilai para peserta asal-asalan, di antaranya penjurian dilakukan sambil bertelepon via telepon seluler yang masih mewah saat itu. rasanya para juri itu hanya berharap acara cepat selesai karena mereka hanya menjalankan formalitas. saat pengumuman yang lolos disampaikan, langsung kuajak semua siswa binaanku pulang karena tak satu pun dari mereka ada di daftar itu. padahal, saat kusaksikan sendiri jalannya penyisihan, terbuncah harapan besar melihat penampilan siswa selain siswaku yang seadanya. dan entah kenapa, daftar nama peserta babak final hanya diisi siswa dari sekolah negeri tempat para juri itu mengabdi.
pelajaran pertama tentang hebatnya hubungan kekerabatan dan kepentingan kuceritakan pada mereka, para siswaku, dalam perjalanan pulang, sebagai salah satu ironi kehidupan. beberapa nasihat penyemangat juga coba kuurai. mereka kecewa, untungnya..., bukan kepadaku. selepas lomba itu kami masih sering berkumpul, bahkan kemudian bebrapa siswa lainnya bergabung untuk menjadi sebuah kelompok kesenian sekolah yang kami namai "teater tegar", yang di tahun ajaran berikutnya kudaftarkan ke pihak sekolah dan kuajukan ke pembina osis untuk diterima sebagai sebuah kegiatan ekstra kulikuler.
teater jelas kalah peminat dibanding ektra kulikuler populer kala itu semisal basket, sepakbola, voli, bulutangkis, drum band, atau pemandu sorak, namun tak menyurutkan langkah tuk sekedar berkesenian. bila kuingat saat itu, tak ada kegiatan futsal yang begitu menjamur saat ini, bahkan futsal tak dikenal saat itu, hahahaha, zaman memang telah berubah.
selain
rizka dan sidiq, seperti ceritaku tadi ada pula tohir yang merupakan
salah satu dari pengawal teater yang jami bentuk di sekolah.
awal tahun ajaran itu tohir dan kawan-kawannya menjejaki bangku tahun pertama sma, ini bertepatan pula denganku yang masuk sebagai pengajar bahasa indonesia di sana. dengan kondisi sama barunya tentu tak canggung bagiku memulai masa mengajarku. kuperkenalkan diriku dengan pelbagai canda yang bisa kutawarkan, mereka pun memperkenalkan diri mereka yang masing-masing belum saling kenal pula. kemudian muncullah nama itu dalam deret nama siswa di buku absensi yang kupegang.
"tohir?" ujarku mengabsen.
"saya pak!" balasnya dari sudut belakang kelas.
seorang pria kecil hitam yang terlihat pandai dengan kacamata berbingkai hitam tebal itu terlihat mengacungkan tangan.
"irit benar orangtuamu memberi nama, hanya lima huruf. ada nama belakang atau depan?" candaku.
"nggak ada pak," katanya "orangtua saya memang irit biar saya bisa sekolah yang tinggi pak," lanjutnya lagi yang disambut tawa siswa satu kelas.
sifatnya yang periang itu ternyata didukung pula dengan kemampuan yang ekspresif di bidang seni. baginya tak hanya bergitar saja yang namanya berkesenian. tak hanya bernyanyi dalam band saja, namun semua hal termasuk menulis cerpen, membaca puisi, bahkan memonologkan cerita-cerita lucu yang sedikit bercampur porno khas anak sekolahan. bila tohir sudah memulai sebuah ceritanya, tempat anak-anak berkongkow akan hening sejenak menyambut ceritanya. tak ada yang menceletuki hingga pada bagian puncak cerita yang dibawakannya sedemikian rupa meledakkan tawa semua pendengarnya. beberapa ceritanya mungkin sudah pernah kubaca di buku humor atau kudengar dari orang lain, namun bila tohir yang membawakannya, kelucuan yang kutangkap jadi berlipat ganda dengan visual kocak yang kutangkap dari sosok tohir.
aku tahu hubungan guru dengan siswa haruslah terjaga jauh dekatnya aga tiada rasa kurang wibawa, pun rasa terlalu ditakuti, karenanya terkadang aku ikut hadir dan membiarkannya bercerita.
awal tahun ajaran itu tohir dan kawan-kawannya menjejaki bangku tahun pertama sma, ini bertepatan pula denganku yang masuk sebagai pengajar bahasa indonesia di sana. dengan kondisi sama barunya tentu tak canggung bagiku memulai masa mengajarku. kuperkenalkan diriku dengan pelbagai canda yang bisa kutawarkan, mereka pun memperkenalkan diri mereka yang masing-masing belum saling kenal pula. kemudian muncullah nama itu dalam deret nama siswa di buku absensi yang kupegang.
"tohir?" ujarku mengabsen.
"saya pak!" balasnya dari sudut belakang kelas.
seorang pria kecil hitam yang terlihat pandai dengan kacamata berbingkai hitam tebal itu terlihat mengacungkan tangan.
"irit benar orangtuamu memberi nama, hanya lima huruf. ada nama belakang atau depan?" candaku.
"nggak ada pak," katanya "orangtua saya memang irit biar saya bisa sekolah yang tinggi pak," lanjutnya lagi yang disambut tawa siswa satu kelas.
sifatnya yang periang itu ternyata didukung pula dengan kemampuan yang ekspresif di bidang seni. baginya tak hanya bergitar saja yang namanya berkesenian. tak hanya bernyanyi dalam band saja, namun semua hal termasuk menulis cerpen, membaca puisi, bahkan memonologkan cerita-cerita lucu yang sedikit bercampur porno khas anak sekolahan. bila tohir sudah memulai sebuah ceritanya, tempat anak-anak berkongkow akan hening sejenak menyambut ceritanya. tak ada yang menceletuki hingga pada bagian puncak cerita yang dibawakannya sedemikian rupa meledakkan tawa semua pendengarnya. beberapa ceritanya mungkin sudah pernah kubaca di buku humor atau kudengar dari orang lain, namun bila tohir yang membawakannya, kelucuan yang kutangkap jadi berlipat ganda dengan visual kocak yang kutangkap dari sosok tohir.
aku tahu hubungan guru dengan siswa haruslah terjaga jauh dekatnya aga tiada rasa kurang wibawa, pun rasa terlalu ditakuti, karenanya terkadang aku ikut hadir dan membiarkannya bercerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar